Ibadah kurban termasuk salah satu ibadah yang dituntun langsung oleh Nabi saw, dengan ucapan, tuntunan, dan praktik beliau saw. Sahabat Jabir bin Abdillah ra. menyaksikan bagaimana Nabi saw berkurban dengan menyembelihnya sendiri untuk dijadikan contoh dan pedoman bagi umatnya,
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الأَضْحَى بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ مِنْ مِنْبَرِهِ وَأُتِىَ بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِيَدِهِ وَقَالَ: بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّى وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِى
Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah ra, ia berkata, “Saya menghadiri shalat idul Adha bersama Rasulullah saw di musholla (tanah lapang). Setelah beliau berkhutbah, beliau turun dari mimbarnya dan didatangkan kepadanya seekor kambing. Kemudian Rasulullah saw menyembelihnya dengan tangannya, sambil mengatakan: Dengan nama Allah. Allah Maha Besar. Kambing ini dariku dan dari orang-orang yang belum menyembelih di kalangan umatku”. (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Abu Daud)
Saking pentingnya ibadah kurban, Rasulullah saw juga berpesan bagi yang berkelapangan rezeki untuk menjalankan ibadah agung ini. Jika tidak, maka ia tidak diperkenankan masuk ke tempat shalat, karena dianggap tidak mengindahkan sunnah Rasulullah saw.
مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلا يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا
“Barang siapa mendapatkan kelapangan (rezeki) tetapi tidak berkurban, maka janganlah dia mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ahmad dan Al-Hakim)
Setelah beliau wafat, ibadah ini dilanjutkan oleh para penerus dan pewaris nabi dari kalangan sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in, para imam madzhab, hingga para ulama dan orang-orang shalih. Dengan tuntunan dan praktik ibadah kurban yang sudah diwariskan turun temurun ini, ditambah dengan ijtihadnya para ulama, semakin membuka ruang kemudahan bagi siapa pun untuk menunaikan ibadah kurban.
Allah swt dan Rasul-Nya mengingatkan akan keberlangsungan sunah ibadah kurban ini hingga akhir zaman. Setelah baginda wafat, akan ada para sahabat dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik, seperti yang disebut di surat At-Taubah ayat 100 berikut ini,
وَالسّٰبِقُوْنَ الْاَوَّلُوْنَ مِنَ الْمُهٰجِرِيْنَ وَالْاَنْصَارِ وَالَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُمْ بِاِحْسَانٍۙ رَّضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ وَاَعَدَّ لَهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ تَحْتَهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَآ اَبَدًا ۗذٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ
“Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung”. (At-Taubah: 100).
Demikian juga, Rasulullah saw memerintah umatnya agar senantiasa berpegang teguh dan mengamalkan sunnahnya dan sunnah para sahabat sepeninggalnya,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
Ditambah dengan jaminan akan selalu ada sunnah yang baik yang dijalankan oleh umatnya, dengan nilai pahala yang sangat besar, sehingga berkekalan sunnah yang baik, baik dalam beribadah maupun dalam bermuamalah.
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا، وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa yang membuat sunnah hasanah dalam Islam maka dia akan memperoleh pahala dan pahala orang yang mengikutinya, dengan tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa yang membuat sunnah sayyi’ah dalam Islam maka ia akan mendapatkan dosa dan dosa orang yang mengikutinya, dengan tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun”. (HR Muslim).
Dari beberapa tuntunan Rasulullah saw, disimpulkan sembilan keutamaan ibadah kurban, sebagai motivasi bagi siapa pun untuk berusaha menjalankan ibadah kurban dengan sungguh-sungguh.
Karena ibadah kurban termasuk syi’ar, maka, Rasulullah saw menyuruh Fatimah ra yang hendak berkurban untuk menyaksikan prosesi penyembelihan hewan kurban, jika tidak mampu menyembelih dengan tangannya sendiri, agar menjadi syi’ar bagi orang yang berkurban dan bagi yang lain akan keutamaan ibadah kurban.
يَا فَاطِمَةُ قَوْمِي إِلَى أُضْحِيَّتِكَ فَاشْهَدِيهَا فَإِنَّهُ يُغْفَرُ لَكِ عِنْدَ أَوَّلِ قَطْرَةٍ تَقْطُرُ مِنْ دَمِهَا كُلُّ ذَنْبٍ عَمِلْتِيهِ وَقُولِي: إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهُ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ . قَالَ عِمْرَانُ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا لَكَ وَلِأَهْلِ بَيْتِكِ خَاصَّةً – فَأَهْلُ ذَاكَ أَنْتُمْ – أَمْ لِلْمُسْلِمِينَ عَامَّةً؟ قَالَ لَا بَلْ لِلْمُسْلِمِينَ عَامَّةً
“Wahai Fatimah, bangkit dan saksikanlah penyembelihan kurbanmu, karena sesungguhnya setiap dosa yang telah kamu lakukan akan diampuni dalam setiap tetesan darah yang mengalir dari hewan kurban tersebut. Kemudian katakanlah; ‘Sesungguhnya shalatku, ibadah (kurban)ku, hidupku dan matiku hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan oleh karena itu aku diperintahkan, dan aku termasuk orang yang berserah diri.’ Imran bin Hushain berkata; ‘Saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah keutamaan ini hanya khusus bagimu dan keluargamu, atau kepada seluruh umat Muslim?. Nabi Saw. menjawab; ‘Tidak, tapi untuk seluruh kaum Muslim.’” (HR. Al-Hakim)
Di surat Al-Hajj ayat 36, Allah swt menyebut unta yang dijadikan hewan kurban sebagai salah satu syi’ar-Nya. Dalam arti tanda keagungan-Nya, sekaligus tanda kepatuhan hamba terhadap-Nya.
وَالْبُدْنَ جَعَلْنٰهَا لَكُمْ مِّنْ شَعَاۤىِٕرِ اللّٰهِ لَكُمْ فِيْهَا خَيْرٌۖ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ عَلَيْهَا صَوَاۤفَّۚ فَاِذَا وَجَبَتْ جُنُوْبُهَا فَكُلُوْا مِنْهَا وَاَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّۗ كَذٰلِكَ سَخَّرْنٰهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
“Dan unta-unta itu Kami jadikan untukmu bagian dari syiar agama Allah, kamu banyak memperoleh kebaikan padanya. Maka sebutlah nama Allah (ketika kamu akan menyembelihnya) dalam keadaan berdiri (dan kaki-kaki telah terikat). Kemudian apabila telah rebah (mati), maka makanlah sebagiannya dan berilah makanlah orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami tundukkan (unta-unta itu) untukmu, agar kamu bersyukur”. (QS. Al-Hajj: 36)
Karena sebagai syi’ar, maka ayat ini memperkenankan siapa pun untuk mendapat bagian dari hewan kurban; pekurban, orang yang mampu, dan yang tidak mampu. Dibolehkan juga kepada seluruh masyarakat, agar nilai manfaatnya menjadi syi’ar akan keutamaan ibadah agung ini. Bahkan mereka yang mampu mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah swt (termasuk hewan kurban) dijamin takwanya sudah tertanam di dalam hati.
ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى ٱلْقُلُوبِ
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati”. (QS. Al-Hajj: 32)
لَنْ یَنَالَ ٱللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاۤؤُهَا وَلَـٰكِن یَنَالُهُ ٱلتَّقۡوَىٰ مِنكُمۡۚ
“Sekali-kali Allah swt tidak menerima daging atau darah hewan kurbanmu, tetapi takwa dari kalian”. (Al-Hajj: 36)
Pada praktiknya, takwa dalam ibadah kurban dicontohkan langsung oleh Allah swt dengan mengganti Isma’il yang hendak disembelih oleh ayahnya Ibrahim as dengan domba yang paling besar dan paling bagus. Allah swt berfirman,
وَفَدَیۡنَـٰهُ بِذِبۡحٍ عَظِیم
“Maka Kami tebus dia (Isma’il) dengan domba yang paling besar”. (Ash-Shaffat: 107)
Syekh As-Sa’di memahami isyarat ayat ini, bahwa domba yang paling baik adalah setara dan sepadan dengan kadar takwa Isma’il yang sangat tinggi. Dikatakan, balasan atas kemuliaan adalah kemuliaan yang lebih tinggi.
Rasulullah saw pun mencontohkan dengan memilih hewan yang terbaik untuk dijadikan hewan kurban baginda saw,
ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ قَالَ وَرَأَيْتُهُ يَذْبَحُهُمَا بِيَدِهِ وَرَأَيْتُهُ وَاضِعًا قَدَمَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا قَالَ وَسَمَّى وَكَبَّرَ
“Rasulullah saw berkurban dengan dua ekor kambing kibasy putih yang telah tumbuh tanduknya (paling bagus). Anas ra berkata : “Aku melihat beliau menyembelih dua ekor kambing tersebut dengan tangan beliau sendiri. Aku melihat beliau menginjak kakinya di pangkal leher kambing itu. Beliau membaca basmalah dan takbir” (HR. Bukhari dan Muslim)
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah” (Al-Kautsar: 2)
Pendampingan antara ibadah shalat dan kurban disebut juga di surat Al-An’am: 162, dengan memaknai kata ‘Nusuk’ dalam arti khusus yaitu ibadah kurban sebagaimana disampaikan oleh sahabat Ibnu Abbas ra,
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, kurban (ibadahku), hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam”.
Hal ini juga sesuai dengan praktik Nabi saw dalam menyembelih hewan kurban, yaitu setelah selesai menunaikan shalat Idul Adha, sebagaimana yang diriwayatkan oleh sahabat Jundub bin Sufyan ra yang menyaksikan langsung penyembelihan hewan kurban Nabi saw,
عَنْ جُنْدُبِ بْنِ سُفْيَانَ قَالَ: شَهِدْتُ اَلْأَضْحَى مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَلَمَّا قَضَى صَلَاتَهُ بِالنَّاسِ, نَظَرَ إِلَى غَنَمٍ قَدْ ذُبِحَتْ, فَقَالَ: “مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ اَلصَّلَاةِ فَلْيَذْبَحْ شَاةً مَكَانَهَا, وَمَنْ لَمْ يَكُنْ ذَبَحَ فَلْيَذْبَحْ عَلَى اسْمِ اَللَّهِ”
Diriwayatkan oleh Jundub bin Sufyan ra, aku pernah menyaksikan kurban bersama Rasulullah saw. Ketika beliau selesai menunaikan shalat (Idul Adha) bersama para jama’ah, lalu beliau melihat pada ghonam (kambing) yang telah disembelih. Kemudian Nabi saw bersabda, ”Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat ‘ied, hendaklah ia mengulanginya. Dan yang belum menyembelih, hendaklah ia menyembelih dengan menyebut ‘bismillah’.” (HR. Muttafaqun ‘alaih).
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّمَا ذَبَحَ لِنَفْسِهِ ، وَمَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكُهُ ، وَأَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِينَ
Dari Anas bin Malik ra, ia berkata, Nabi saw bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih kurban sebelum shalat (Idul Adha), maka ia berarti menyembelih untuk dirinya sendiri. Barangsiapa yang menyembelih setelah shalat (Idul Adha), maka ia telah menyempurnakan manasiknya dan ia telah melakukan sunnah kaum muslimin.” (HR. Bukhari)
Namun kemudian nabi saw memberikan keluasan waktu menyembelih hewan kurban hingga berakhir hari tasyrik tanggal 13 Dzulhijjah. Rasulullah saw bersabda,
أَيَّامُ التَّشْرِيقِ كُلُّهَا ذَبْحٌ
“Hari-hari tasyriq semuanya adalah waktu penyembelihan.” (HR. Al-Baihaqi)
يَا فَاطِمَةُ قَوْمِي إِلَى أُضْحِيَّتِكَ فَاشْهَدِيهَا فَإِنَّهُ يُغْفَرُ لَكِ عِنْدَ أَوَّلِ قَطْرَةٍ تَقْطُرُ مِنْ دَمِهَا كُلُّ ذَنْبٍ عَمِلْتِيهِ وَقُولِي: إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهُ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ . قَالَ عِمْرَانُ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا لَكَ وَلِأَهْلِ بَيْتِكِ خَاصَّةً – فَأَهْلُ ذَاكَ أَنْتُمْ – أَمْ لِلْمُسْلِمِينَ عَامَّةً؟ قَالَ لَا بَلْ لِلْمُسْلِمِينَ عَامَّةً
“Wahai Fatimah, bangkit dan saksikanlah penyembelihan kurbanmu, karena sesungguhnya setiap dosa yang telah kamu lakukan akan diampuni dalam setiap tetesan darah yang mengalir dari hewan kurban tersebut. Kemudian katakanlah; ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku (kurban), hidupku dan matiku hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan oleh karena itu aku diperintahkan, dan aku termasuk orang yang berserah diri.’ Imran bin Husain berkata; ‘Saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah keutamaan ini hanya khusus bagimu dan keluargamu, atau kepada seluruh umat Muslim?. Nabi Saw. menjawab; ‘Tidak, tapi untuk seluruh kaum Muslim.’” (HR. Al-Hakim)
Kaidah ampunan atas dosa berlaku pada semua ibadah dan kebaikan yang dijalankan oleh seseorang sesuai dengan kaidah surat Hud: 114 dan beberapa hadits Nabi saw, di antaranya,
اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah kepada Allah dimanapun engkau berada; iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, maka kebaikan akan menghapuskan keburukan itu; dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi)
قَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا هَذِهِ الأَضَاحِىُّ قَالَ سُنَّةُ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ. قَالُوا فَمَا لَنَا فِيهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ بِكُلِّ شَعَرَةٍ حَسَنَةٌ. قَالُوا فَالصُّوفُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ بِكُلِّ شَعَرَةٍ مِنَ الصُّوفِ حَسَنَةٌ.
“Para sahabat bertanya kepada Nabi Saw., ‘Wahai Rasulullah, apakah maksud dari hewan-hewan kurban seperti ini?. Beliau menjawab; ‘Ini merupakan sunnah (ajaran) bapak kalian, Nabi Ibrahim.’ Mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah, lantas apa yang akan kami dapatkan dengannya?’ Beliau menjawab; ‘Setiap rambut terdapat satu kebaikan.’ Mereka berkata, ‘Bagaimana dengan bulu-bulunya wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab: “Dari setiap rambut pada bulu-bulunya terdapat satu kebaikan.” (HR. Abu Daud)
Sejarah mencatat, pada saat Rasulullah saw tiba di Madinah, maka terdapat beberapa hari raya yang dijadikan sebagai momentum kegembiraan dan kesenangan masyarakat Madinah, termasuk hari raya yang biasa dijalankan oleh masyarakat Jahiliyah. Untuk Nabi Muhammad saw memohon agar dikaruniakan hari raya untuk kesyukuran dan kebahagiaan umatnya, yang memiliki nilai keagungan, syi’ar dan kemanfaatan kepada sesama. Justru di hari raya tersebut (Idul Fitri dan Idul Adha) diharamkan untuk berpuasa, sebagai gantinya adalah bersuka cita dengan makanan dan minum yang dijalankan secara bersamaan, saling berbagi dan saling memberikan hak orang lain pada anugerah nikmat Allah swt, termasuk kelapangan untuk menunaikan ibadah kurban, yang kemanfaatannya diagihkan kepada semua, khususnya kepada kaum dhu’afa. Rasulullah saw bersabda menunjukkan keagungan hari raya Idul Adha dengan ibadah kurban, yang merupakan amal yang paling utama dan dicintai oleh Allah swt:
مَا عَمِلَ ابْنُ آدَمَ يَوْمَ النَّحْرِ عَمَلاً أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ هِرَاقَةِ دَمٍ وَإِنَّهُ لَيَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَظْلاَفِهَا وَأَشْعَارِهَا وَإِنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ عَلَى الأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا
“Tidaklah pada hari nahr manusia beramal suatu amalan yang lebih dicintai oleh Allah dibanding mengalirkan darah dari hewan kurban. Ia akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, kuku, rambut hewan kurban tersebut. Dan sungguh, darah tersebut akan sampai kepada (ridha) Allah sebelum tetesan darah tersebut jatuh ke bumi, maka bersihkanlah jiwa kalian dengan berkurban.” (HR. Al-Hakim dan Tirmidzi)
إِنَّ أَعْظَمَ الأَيَّامِ عِنْدَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَوْمُ النَّحْرِ ثُمَّ يَوْمُ الْقَرِّ
“Sesungguhnya hari yang paling mulia di sisi Allah Tabaroka wa Ta’ala adalah hari Idul Adha dan yaumul qorr (hari tasyriq).” (HR. Abu Daud)
Hari tasyriq dinamakan juga yaumul qorr karena pada saat itu orang yang berhaji berdiam di Mina.
يَوْمُ عَرَفَةَ وَيَوْمُ النَّحْرِ وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ عِيدُنَا أَهْلَ الإِسْلاَمِ وَهِىَ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
“Hari Arafah, hari Idul Adha dan hari-hari Tasyriq adalah ‘ed kami -kaum muslimin-. Hari tersebut (Idul Adha dan hari Tasyrik) adalah hari menyantap makan dan minum.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Nasa’i)
عَنْ عُمَرَ رضي الله عنه أَيضاً قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلّم ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي عَنِ الإِسْلاَم، ……قَالَ: صَدَقْتَ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Umar bin Khaththab ra berkata : Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat Rasulullah saw. Tiba-tiba datang kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan Nabi, lalu lututnya disandarkan kepada lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi, kemudian ia berkata : “Hai, Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam.” …….Dia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang ihsan”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Kalaupun engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim)
Oleh karenanya, Allah swt memerintah semua hamba-Nya agar melakukan sesuatu dengan ihsan (yang terbaik, sesuai tuntunan, dan sungguh-sungguh sesuai kemampuan). Contoh dari pelaksanaan ‘Ihsan’ adalah dalam hal penyembelihan hewan, termasuk hewan kurban tentunya. Rasulullah saw bersabda,
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ
“Sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat baik terhadap segala sesuatu. Jika kalian hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian hendak menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah kalian menajamkan pisaunya dan senangkanlah hewan yang akan disembelih.” (HR. Muslim)
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. Ash-Shaffat: 102 – 107)
Padahal mengikuti dan meneladani sunnah nabi Ibrahim diperintah oleh Allah swt sebagai uswah hasanah, sebagaimana nabi Muhammad saw yang tersebut di surat Al-Ahzab: 21. Allah swt berfirman,
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِيْٓ اِبْرٰهِيْمَ وَالَّذِيْنَ مَعَهٗۚ
“ Sungguh, telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya”. QS. Al-Mumtahanah: 4)
Sejarah keagungan ibadah kurban tidak dapat dipisahkan dari sejarah kesabaran dan ketaatan dua nabi sekaligus, yaitu nabi Ibrahim dan nabi Isma’il as. Imam Thabari menuturkan riwayat dari Imam Qatadah, bahwa benar-benar nabi Ibrahim sudah siap dengan pisau untuk menyembelih putranya sesuai dengan perintah Allah swt. Saat prosesi itulah beliau membalikkan badan putranya agar tidak tampak kesakitan yang akan dialami oleh putranya, sekaligus agar tahan dan tegar menjalankan perintah Allah swt. (Tafsir Jami’ Al-Bayan)
Sahabat Ibnu Abbas ra meriwayatkan kisah pelaksanaan ibadah haji yang dikaitkan dengan ibadah kurban, yaitu saat hendak melontar jumrah. Setan datang menggoda di tempat jumrah pertama (Ula), kedua (wustha), dan ketiga (Aqabah), agar nabi Ibrahim as tidak menjalankan perintah Allah swt. Namun justru nabi Ibrahim malah melempar mereka dengan tujuh batu setiap tempat jumrah tersebut, hingga berakhir menunaikan manasik. Ibnu Abbas berkata, “Setan kalian lempar, dan sunnah Ibrahim kallian ikuti”. (HR. Ibnu Khuzaimah)
Karena agungnya sejarah ibadah kurban yang pernah dijalankan oleh Nabi Ibrahim as dengan putranya nabi Isma’il as, maka ketika nabi Muhammad saw ditanya oleh para sahabat tentang ibadah kurban, maka dengan tegas beliau menjawab bahwa itu adalah sunah Nabi Ibrahim as,
قَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا هَذِهِ الأَضَاحِىُّ قَالَ سُنَّةُ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ.
“Para sahabat bertanya kepada Nabi Saw., ‘Wahai Rasulullah, apakah maksud dari hewan-hewan kurban seperti ini?. Beliau menjawab; ‘Ini merupakan sunnah (ajaran) bapak kalian, Nabi Ibrahim.’ (HR. Abu Daud)
Mudah-mudahan kita dapat mengambil ibrah dan pelajaran dari peristiwa dan praktik ibadah kurban terdahulu, sehingga dimampukan untuk mengamalkannya, sebagai upaya kita untuk mengagungkan syi’ar Allah swt. Ibadah kurban yang kita jalankan juga sangat membantu saudara dan sahabat kita yang membutuhkan huluran bantuan, khususnya di hari kebahagiaan Idul Adha dan hari tasyrik. Amiiin