Idul adha yang rutin dilaksanakan oleh umat islam setiap tahunnya dalam sudut pandang Al-Qur’an menjadi ungkapan rasa syukur kita atas nikmat-nikmat yang telah diberikan oleh Allah secara berlimpah kepada hamba-hambanya.
Jika kita melihat sejarah panjang perjalanan umat manusia di muka bumi ini, momen ini juga memiliki akar sejarah yang juga dilakukan oleh umat-umat terdahulu.
Dalam Alquran Surat al-Hajj ayat 34 dinyatakan: ”Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban) supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).”
Pada masa itu dikisahkan bahwa putra Adam, Habil dan Qabil ketikan keduanya memberikan persembahan kurban, maka hanya salah satu dari mereka berdua (Habil) yang kurbannya diterima.
Telah ditetapkan bagi kaum Nabi Idris hari raya pada waktu-waktu tertentu, diantaranya juga terdapat kurban yang dilakukan saat terbenamnya matahari di ufuk dan saat melihat hilal.
Kisah yang sangat masyhur adalah saat Nabi Ibrahim melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih Ismail. Dimana pelaksanaan tersebut berubah drastis, ditebusnya ismail dengan seekor sembelihan yang besar.
Kurban di masa ini dilakukan dengan cara membagi hewan yang disediakan untuk kurban, sebagian dilepaskan ke alam liar atau dibiarkan begitu saja, sebagian sisanya disembelih.
Dikisahkan bahwa ketika ada seseorang dari mereka berkurban, jika diterima datang api putih (baidha’u) dari langit untuk membakar kurban tersebut, jika tidak ada api tersebut maka dianggap kurbannya tidak diterima.
Nabi Zakaria As dan Nabi Yahya As adalah dua diantara Nabi dan Rasul dari Bani israil, kurban di masa itu adalah binatang dan barang-barang lalu dibakar api.
Kedua bangsa ini melakukan pengurbanan dengan membakar sesajian yang bertujuan untuk mengingat kesalahan, serta menyembelih sapi dan kambing jantan yang tidak cacat dan mulus.
Kurban mereka dipersembahkan kepada berhala-berhala yang mereka sembah, ada binatang yang disembelih untuk berhala, ada yang dilepas berkeliaran juga untuk berhala.
Kurban ini dilakukan karena nazarnya, Tetapi pada akhirnya Abdul Muthalib mengganti Abdullah dengan 100 ekor unta untuk berkurban karena penolakan bangsa arab. Dan dengan demikian Abdullah bebas dan tidak lagi dijadikan kurban oleh ayahnya.
Nabi Muhammad SAW melakukan kurban saat Haji Wada di Mina ba’da sholat Idul Adha. Beliau menyembelih 100 ekor unta, 70 ekor disembelih dengan tangan beliau sendiri, dan sisanya disembelih oleh sayyidina Ali Ra.
Disinilah akhir dari sejarah kurban yang indah, sempurna, dan membumi di seluruh jagat semesta dijaga dengan sangat sempurna oleh generasi Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in sampai pada generasi muta-akhkhirin. Menyadari aspek sangat penting dalam prosesi pelaksanaan ibadah kurban, adalah sifat dan kapasitasnya sebagai syiar utama hari raya Idul Adha. Mereka mampu mewujudkan sabda Baginda Rasul. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tiada satu amalpun yang dilakukan seorang anak manusia pada hari raya qurban (Yaumun-Nahr) yang lebih dicintai oleh Allah selain menumpahkan/mengalirkan darah (hewan kurban yang disembelih). Maka berbahagialah kamu karenanya” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Hakim dengan sanad yang shahih).
Aspek syiar paling utama dari ibadah kurban yang dimaksud tersebut adalah pada proses penyembelihannya, bukan pada pendistribusiannya atau hal-hal lainnya.
Karenanya, Baginda Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi wasallam sengaja memilih ungkapan yang jelas untuk membahasakan kurban sebagai amal ibadah yang paling dicintai oleh Allah SWT di Hari Raya Idul Adha, yakni mengungkapkannya dengan kata-kata “iraqatid dam/ihraqid dam”, yang artinya mengalirkan/menumpahkan darah (hewan kurban yang disembelih). Wallahu a’lam.