
Pembangunan nasional Indonesia saat ini berada pada fase yang membutuhkan kolaborasi lintas sektor untuk menjawab tantangan yang semakin kompleks. Masalah kemiskinan multidimensi, ketimpangan antarwilayah, ketahanan pangan, kerentanan terhadap bencana, serta kebutuhan peningkatan kualitas sumber daya manusia menjadi agenda besar yang tidak mungkin diselesaikan oleh pemerintah sendiri.
Paul Streeten dan Burki (1978) mendefinisikan pembangunan sebagai proses peningkatan kualitas hidup manusia dan perluasan kesempatan yang tersedia bagi masyarakat. Pelibatan masyarakat dalam pembangunan menjadi prasyarat agar pembangunan berjalan efektif dan mencerminkan kebutuhan nyata masyarakat. Keterlibatan aktif ini meningkatkan rasa memiliki, akuntabilitas, serta efektivitas implementasi kebijakan (Purnama, 2022). Partisipasi masyarakat mencerminkan prinsip dasar demokrasi, di mana pemerintahan berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (Aswandi & Roisah, 2019).
Sejalan dengan pandangan tersebut, keberadaan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang hadir dari kesadaran masyarakat menjadi semakin relevan. Zakat, yang merupakan instrumen sosial-ekonomi dalam Islam, memiliki potensi besar dalam mendukung tujuan pembangunan nasional. Berdasarkan perhitungan dengan formula Indikator Pemetaan Potensi Zakat (IPPZ), potensi zakat nasional diperkirakan mencapai sekitar Rp327 triliun. Namun realisasi penghimpunannya masih jauh dari angka tersebut. Pada tahun 2025, BAZNAS melaporkan bahwa dana zakat yang berhasil dihimpun baru mencapai sekitar Rp41 triliun. Hal ini menunjukkan bahwa kapasitas pemanfaatan zakat di Indonesia masih perlu diperkuat agar potensi besar tersebut dapat dioptimalkan bagi kesejahteraan masyarakat.
Dibalik potensinya yang besar, gerakan zakat dalam konteks ini, tidak hanya berfungsi sebagai instrumen distribusi dana sosial keagamaan, tetapi berkembang menjadi sarana strategis yang mampu memperkuat agenda pembangunan nasional. Dana zakat dapat diarahkan untuk mendukung program prioritas pemerintah, terutama dalam bidang penanggulangan kemiskinan, respon bencana, peningkatan ketahanan ekonomi masyarakat, serta penguatan kualitas sumber daya manusia.
Pemanfaatan zakat tersebut sejalan dengan arah kebijakan pengembangan ekonomi syariah nasional, di mana zakat menjadi bagian dari ekosistem ekonomi Islam yang inklusif dan berkelanjutan. Sinergi ini menunjukkan bahwa negara dan masyarakat sipil memiliki ruang kolaboratif yang luas untuk memecahkan persoalan sosial melalui mekanisme yang bersumber dari keyakinan dan kearifan lokal umat.
Lebih dari itu, zakat berperan sebagai instrumen pengurangan kemiskinan yang bersifat langsung maupun struktural. Secara langsung, zakat meringankan beban mustahik melalui pemenuhan kebutuhan dasar. Secara struktural, zakat dapat memperkuat akses modal, pendidikan, pelatihan, kesehatan, hingga program pemberdayaan ekonomi yang memungkinkan mustahik keluar dari lingkaran kemiskinan. Dengan desain program yang tepat dan akuntabel, zakat mampu menciptakan efek berganda (multiplier effect) dalam perekonomian lokal, sekaligus mengurangi kesenjangan sosial.
Agar potensi zakat dapat berkontribusi optimal dalam agenda pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan diperlukan Langkah dan kebijakan strategis. Dalam hal kolaborasi dan menyelaraskan arah gerak, diperlukan mekanisme formal untuk menyusun roadmap pemberdayaan LAZ dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) serta strategi penanggulangan kemiskinan pemerintah. Sumbang gagasan dari pegiat lembaga zakat dapat menjadi masukan berharga bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang lebih inklusif dan kontekstual.
Para pegiat gerakan zakat yang berada di garis depan pelayanan sosial memiliki pemahaman yang kuat mengenai dinamika kemiskinan di tingkat akar rumput, mulai dari kebutuhan riil masyarakat, tantangan pemberdayaan, hingga faktor-faktor lokal yang mempengaruhi keberhasilan program pemberdayaan. Keterlibatan LAZ dalam forum perencanaan pembangunan akan mendorong terciptanya desain kebijakan yang lebih adaptif, berbasis bukti (evidence-based policy), serta mengintegrasikan nilai-nilai keadilan sosial yang melekat dalam ajaran zakat.
Melalui dialog kebijakan yang terstruktur, pemerintah dapat memperoleh perspektif lapangan yang kaya, sementara LAZ memperoleh arahan strategis agar program pemberdayaan yang dijalankan tetap sejalan dengan tujuan pembangunan nasional. Pemerintah juga dapat memfasilitasi LAZ untuk menjadi mitra pelaksana berbagai program prioritas seperti ketahanan pangan, pemberdayaan UMKM, pemberdayaan perempuan, literasi keuangan syariah, dan penanggulangan bencana. Sinergi ini memperluas cakupan intervensi sosial dengan biaya yang lebih efisien.
Mekanisme kolaboratif ini dapat memperkuat posisi lembaga zakat sebagai mitra strategis negara dalam mengisi ruang-ruang intervensi sosial yang belum terjangkau oleh anggaran publik. Maka zakat tidak hanya menjadi solusi karitatif sesaat, tetapi berubah menjadi instrumen pembangunan sosial-ekonomi yang mampu mengentaskan kemiskinan, mempersempit kesenjangan, dan meningkatkan kesejahteraan. Inilah esensi ge rakan zakat sebagai bagian integral dari pembangunan nasional.
Pada akhirnya, penguatan peran zakat sebagai bagian dari pembangunan nasional membutuhkan komitmen bersama antara pemerintah, lembaga zakat, dan masyarakat luas. Optimalisasi potensi zakat bukan semata persoalan teknis penghimpunan, tetapi menyangkut bagaimana zakat ditempatkan sebagai instrumen strategis untuk mewujudkan keadilan sosial dan kemandirian ekonomi. Dengan tata kelola yang profesional, kolaborasi, serta kebijakan yang berpihak pada pemberdayaan, lembaga zakat dapat menjadi motor perubahan sosial yang berkelanjutan. Bila ruang sinergi ini terus diperkuat, maka gerakan zakat akan mampu memberi kontribusi nyata bagi terwujudnya visi Indonesia emas 2045.
Gumilar Hayat Sampurna
Mahasiswa Program Pascasarja STEI SEBI