
Rimbi | Memahami Siapa yang Pantas Menerima Zakat Menurut Al-Qur’an
Pendahuluan
Zakat bukan hanya kewajiban pribadi, tapi juga sistem distribusi kekayaan dalam Islam. Salah satu pertanyaan yang sering muncul dari para muzakki adalah:
“Kepada siapa zakat saya seharusnya diberikan?”
“Siapa yang paling berhak menerimanya?”
Islam telah menjawab ini secara tegas dan rinci melalui ayat Al-Qur’an yang sangat terkenal dalam fikih zakat
Dalil Utama: QS. At-Taubah Ayat 60
Allah ﷻ berfirman:
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk ibnu sabil. Itulah ketetapan dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 60)
Dari ayat ini, para ulama menyusun delapan golongan yang berhak menerima zakat (asnaf). Mari kita pahami satu per satu.
Orang yang hampir tidak memiliki harta dan penghasilan.
Fakir hidup dalam kesulitan berat — bahkan untuk makan sehari-hari saja tak cukup. Mereka lebih membutuhkan daripada miskin.
Contoh: Lansia tanpa keluarga, tuna wisma, atau orang sakit yang tidak punya biaya hidup.
Orang yang memiliki penghasilan, tapi tidak cukup untuk kebutuhan dasar.
Mereka bisa bekerja, tapi penghasilannya sangat minim. Seperti tukang parkir, buruh harian lepas, atau petani kecil. Fakir dan miskin sering disatukan, namun menurut banyak ulama, fakir lebih berat keadaannya daripada miskin.
Petugas resmi yang mengelola, mengumpulkan, dan mendistribusikan zakat.
Mereka bisa berasal dari lembaga zakat profesional, relawan, atau pegawai yang ditugaskan khusus. Mereka menerima bagian dari zakat sebagai kompensasi kerja, bukan karena miskin.
Amil yang menerima zakat haruslah amanah dan ditunjuk secara sah.
Orang yang baru masuk Islam atau yang hatinya ingin didekatkan pada Islam.
Mereka bisa jadi mualaf baru yang masih rentan imannya, atau tokoh masyarakat non-Muslim yang potensial untuk mendukung Islam secara sosial atau politik.
Dalam konteks kekinian, bisa juga berarti membantu mualaf menstabilkan hidup, mendapatkan pembinaan, atau dukungan moral.
Untuk membebaskan budak atau tawanan.
Meskipun sistem perbudakan sudah tidak ada di banyak tempat, kategori ini masih relevan dalam bentuk modern seperti:
Orang yang memiliki utang karena kebutuhan mendesak, bukan karena maksiat.
Gharimin adalah mereka yang terlilit utang:
Zakat bisa digunakan untuk melunasi utangnya, agar mereka kembali mandiri.
Segala bentuk perjuangan di jalan Allah.
Dulu, fi sabilillah identik dengan pejuang perang. Namun sekarang, maknanya lebih luas:
Banyak ulama kontemporer memperluas makna ini sesuai konteks zaman.
Musafir yang kehabisan bekal di perjalanan.
Meski orang ini kaya di kampung halamannya, namun karena sedang dalam safar dan kehabisan biaya, ia berhak menerima zakat. Contoh modern: mahasiswa rantau yang kehilangan dompet, pengungsi yang terdampar, sopir atau pengemudi online yang terlantar saat tugas.
❓ Siapa yang Paling Utama dari Delapan Golongan Ini?
Prioritas utama adalah:
Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak meridhai keputusan Nabi dan tidak pula selainnya dalam urusan zakat, sampai Allah sendiri yang membaginya menjadi delapan bagian.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Penutup: Salurkan Zakat dengan Amanah dan Tepat
Zakat bukan hanya kewajiban, tapi alat untuk memutus rantai kemiskinan. Maka penting untuk menyalurkan zakat:
Dengan mengetahui delapan golongan ini, kita bisa lebih bijak dan tepat sasaran dalam berzakat.
“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, maka itu adalah untuk dirimu sendiri.” (QS. Al-Baqarah: 272)