Kelaparan dan Kepungan Tiga Lapis di Gaza

Oleh: Ustadz Idham Cholid

“Saya sangat lapar, jadi saya bangkit dan mengunyah sepotong roti yang sudah keras, bersama dengan secangkir teh tanpa gula,” Kata Yusuf Tsabit. Pria berusia tiga puluh tahun, kepala keluarga dengan empat anak itu menunjuk ke arah dapur sambil menjelaskan tidak ada lagi yang bisa dimakan kecuali roti yang sudah dimakan “cacing” dan serangga “penggerek”. Bahkan tepung basi dan kadaluarsa pun harganya sangat mahal.

Sejak beberapa pekan yang lalu, kelaparan telah merenggut korban jiwa di Gaza Selatan dan Utara. Untuk mendapatkan sepotong roti menjadi perjuangan bertahan hidup setiap hari, dan pemboman serta pembantaian terjadi di mana-mana.

Kelaparan ini terjadi bertepatan dengan keputusan yang dikeluarkan oleh Menteri Luar Negeri penjajah untuk membatalkan perjanjian beroperasinya UNRWA (Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina), yang telah beroperasi sejak tahun 1967. Hal itu terjadi setelah keputusan yang dikeluarkan Knesset yang membatalkan kegiatan lembaga PBB yang merupakan pilar utama distribusi bantuan di Jalur Gaza.

Bentuk pengepungan terhadap Gaza, seperti yang dilaporkan oleh media Israel berkisar pada 3 lingkaran. Pertama, seluruh Jalur Gaza dikepung,  tidak ada seorang pun yang bisa masuk atau keluar kecuali dengan keputusan tentara penjajah. Pengepungan lain diberlakukan di seluruh Gaza bagian utara, mulai dari wilayah Lembah Gaza hingga utara, termasuk Kota Gaza.

Awal bulan lalu, tentara penjajah kembali melakukan pengepungan yang lebih parah di Jalur Gaza utara, di sekitar kota Jabalia, Beit Hanoun, dan Beit Lahia. Seorang pejabat PBB menggambarkannya sebagai “pengepungan di dalam pengepungan di  dalam pengepungan.”

“Kami Tidur dalam Keadaan Lapar…”

Di tendanya yang sudah usang, yang dia bangun di pantai kota Deir al-Balah di Jalur Gaza bagian tengah, duduklah seorang janda, Umm Hussein al-Asuli, yang rumahnya di Khan Yunis telah dihancurkan oleh penjajah. Dia berkata kepada koresponden kami: “Demi Allah, saya bingung. Makanan apa yang harus saya berikan kepada anak-anak yatim ini? Tidak ada roti, tidak ada sayur dan buah-buahan. Kami harus bagaimana? Demi Allah kami kelaparan dan tidur tanpa makan.”

Umm Hussein melanjutkan, matanya perih karena kesedihan dan kesakitan. Kami makan kacang kalengan dan kacang polong setiap hari, yang semuanya mengandung bahan pengawet, dan mungkin sudah kadaluarsa karena terlalu lama di gudang, di pasar dan saat pengiriman.

Umm Hussein menyerukan kepada dunia dan masyarakat merdeka untuk melakukan intervensi dan menyelamatkan rakyat Palestina di Jalur Gaza dari kubangan kelaparan dan pemusnahan, dimana Israel membunuh kami dengan rudal dan bom siang dan malam, dan dengan kelaparan dan kehausan.

Koresponden Palinfo mengkonfirmasi bahwa harga makanan kaleng terus meningkat, dengan harga satu kaleng mencapai sekitar 10 shekel (satu dolar = 3,75 shekel), dan warga Palestina tidak mampu membelinya karena terkikisnya daya beli dan kurangnya likuiditas, dan hilangnya lapangan usaha dan kerja.

Selama bulan Oktober, penjajah Israel menutup gerbang perbatasan Kerem Shalom, memperketat perlintasannya, dan menghentikan masuknya truk bantuan dan truk komersial, yang berdampak terhadap realitas warga Gaza, hingga pasar menjadi kosong dari produk dan barang dagangan, dan harga-harga naik gila-gilaan.

Koresponden Palinfo memberitakan, harga sekantong tepung seberat 25 kg adalah 50 dolar AS, satu kilo daging juga mencapai 50 dolar, sedangkan satu kilo terong mencapai 4 dolar. Adapun beberapa produk tidak tersedia seperti tomat, telur, daging. Sumber lokal memperkirakan sekitar 90% barang kebutuhan pokok hilang di pasar, dan sisanya, jika tersedia, harganya sangat mahal.

Kehilangan Segalanya

Adapun warga Mahmoud Al-Haddad, dia mengatakan kepada koresponden kami dengan berlinang air mata bahwa anak-anaknya hanya makan roti dan sedikit daun za’tar setiap hari. Dia melanjutkan: Mereka tidak bisa makan buah-buahan dan sayuran, permen, dan jus, mereka telah kehilangan segalanya.

Anaknya, Osama, duduk di sebelahnya, memanggil ibunya untuk membuatkan sesuatu untuk dimakan, dan dia langsung menjawabnya dengan mengatakan bahwa yang ada hanyalah sepotong kecil roti dengan taburan daun za’tar.

Senjata Kelaparan

Di bagian utara Jalur Gaza, kondisi di sana lebih buruk dan mengerikan, karena tidak ada makanan yang bisa dimakan, dan kalaupun tersedia, yang ada hanyalah beberapa makanan kaleng dan roti dengan harga selangit.

Warga bernama Muhammad Miqdad, yang tinggal di rumahnya yang telah hancur di kamp Shati, sebelah barat Kota Gaza, mengatakan kepada koresponden palinfo: Berat badan kami turun sejak berbulan-bulan. Kami hanya makan sedikit makanan kaleng. Kami tidak kuat lagi untuk berdiri.

Israel memanfaatkan kelaparan di Jalur Gaza bagian utara sebagai bagian dari rencana para jenderal untuk mengosongkan wilayah utara dari populasinya dan mendeklarasikannya sebagai zona militer tertutup. Laporan media menunjukkan bahwa truk-truk yang memuat bantuan dan sayuran masuk dengan cara yang sangat terkendali, yang memang tidak mencukupi kebutuhan pangan masyarakat.

Miqdad mengatakan kepada koresponden Palinfo bahwa selama berbulan-bulan kami tidak makan ayam, daging, atau buah-buahan. “Kami hampir tidak bisa mendapatkan tepung, dan  tidak ada yang  melindungi kami dari kematian.”

Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (OCHA) menyatakan kedatangan bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza menghadapi kendala besar, terutama terkait kedatangannya di Jalur Gaza bagian utara.

Menurut OCHA, “Ada kebutuhan mendesak untuk membuka koridor yang aman dan berkelanjutan untuk mencapai Gaza utara dan wilayah lain di Jalur Gaza,” dan menekankan bahwa “pengiriman melalui gerbang perbatasan yang terbatas dan tidak dapat dalam jumlah yang sepantasnya menghambat operasi bantuan kemanusiaan dan menjadikannya tidak efektif.”

Dalam update OCHA terbaru, disebutkan bahwa sejak 7 Oktober 2024, WFP, seperti mitra lainnya, telah kehilangan akses ke tujuh lokasi pemberian makanan yang aktif di provinsi Gaza Utara antara 1 dan 7 Oktober.. Demikian juga belum dibagikan kit darurat yang berisi suplemen makanan yang berbasis minyak.

Pada tanggal 28 Oktober, 12 dari 19 toko roti yang didukung oleh WFP tetap beroperasi di Jalur Gaza, empat di Kota Gaza, tujuh di Deir al-Balah dan satu di Khan Yunis. Namun dua toko roti di provinsi Gaza Utara dan lima toko di Rafah masih ditutup akibat perang.

Dalam sebuah laporan baru-baru ini, UNRWA mengatakan: “Lebih dari 1.800.000 orang di Jalur Gaza menderita kerawanan pangan akut tingkat tinggi, yang diklasifikasikan pada klasifikasi krisis tahap ketiga atau lebih tinggi,” dan mencatat bahwa “malnutrisi akut meningkat sepuluh kali lebih tinggi; “dibandingkan sebelum perang.”

Bantuan Yang Sangat Minim

Dalam beberapa waktu terakhir, penjajah Israel mengurangi jumlah bantuan yang diterima ke Jalur Gaza secara signifikan, seiring dengan mulai terlihat jelasnya tanda-tanda kelaparan di wilayah Jalur Gaza bagian selatan dan tengah, serupa dengan apa yang terjadi di Kota Gaza dan wilayah utara Jalur Gaza.

Penjajah Israel mengendalikan pergerakan ekspor dan impor ke Jalur Gaza dengan mengendalikan gerbang perbatasan, mencegah kedatangan barang dan bahan makanan, dan menggunakan kartu kelaparan sebagai alat politik untuk menekan gerakan perlawanan Palestina terkait dengan perundingan pertukaran tahanan  Israel di Gaza.

Menurut kantor media pemerintah di Gaza, 500 hingga 800 truk memasuki Jalur Gaza setiap hari melalui berbagai penyeberangan, mulai dari makanan, bahan bangunan dan rekonstruksi, selain bahan bakar, gas untuk memasak, obat-obatan, dan perbekalan medis, sementara jumlah truk yang diangkut mencapai Jalur Gaza, yang saat ini diperbolehkan masuk tidak melebihi beberapa puluh truk saja.

Menurut laporan PBB baru-baru ini, risiko kelaparan akan terus berlanjut di seluruh Gaza selama musim dingin ini, kecuali jika pertempuran berhenti dan lebih banyak bantuan kemanusiaan yang bisa sampai keluarga-keluarga. Itu menurut asesmen keamanan pangan baru-baru ini di Jalur Gaza yang memperkirakan bahwa terdapat 1,95 juta orang di Gaza (91% penduduk) harus terkena dampak parah dalam ketahanan pangan.

Laporan tersebut menyatakan bahwa perang selama lebih dari setahun di Gaza telah menghancurkan mata pencaharian, menjatuhkan produksi pangan, dan secara signifikan membatasi jalur pasokan perdagangan dan kemanusiaan (KHO).

———

Diterbitkan Pusat Informasi Palestina, Rabu, 6 November 2024 pukul 09.44.

Sumber: https://palinfo.com/news/2024/11/06/923838

    Comments are closed

    Tentang Kami
    Yayasan Kesejahteraan Madani (YAKESMA) didirikan pada 4 juli 2011, sebagai sebuah lembaga amil zakat yang berfokus pada kesejahteraan masyarakat dan mereka yang telah berjasa dalam pengajaran pendidikan keterampilan pemberdayaan dan dakwah di masyarakat.
    Kontak Yakesma
    Jalan Teluk Jakarta No.9
    Komp. AL Rawa Bambu, Pasar Minggu,
    Jakarta Selatan 12520
    Telp: (021) 22 789 677 | WA. 0822 7333 3477
    Email: welcome@yakesma.org
    Sosial Media
    2023 - Yayasan Kesejahteraan Madani