
Rimbi | Setiap kali bulan Dzulhijjah tiba, umat Islam menyambutnya dengan semangat beribadah, terutama dalam melaksanakan qurban. Ibadah ini adalah simbol ketaatan, pengorbanan, dan keikhlasan seorang hamba kepada Rabb-nya. Namun, di tengah semaraknya pelaksanaan qurban—terlebih dengan maraknya publikasi sosial—muncul satu tantangan hati yang halus namun berbahaya: kesombongan dalam berqurban.
Berqurban adalah ibadah besar. Tapi seperti ibadah lainnya, nilainya tidak hanya dinilai dari besar kecilnya hewan yang disembelih, melainkan dari niat, keikhlasan, dan ketundukan hati kepada Allah ﷻ.
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kalian-lah yang dapat mencapainya…” (QS. Al-Hajj: 37)
Mengapa Sombong Bisa Menyusup dalam Qurban?
Qurban identik dengan kemampuan materi. Maka tidak jarang orang yang melaksanakannya tergoda untuk membandingkan hewan qurbannya dengan milik orang lain, atau menyebut-nyebut pengorbanannya secara berlebihan. Sering kali, media sosial menjadi panggung riya’ dan ujub tanpa disadari.
Beberapa bentuk kesombongan yang sering muncul:
Padahal, jika melihat teladan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, qurban adalah bentuk penundukan total hati, bukan kebanggaan.
Kiat Menjaga Hati agar Tetap Tunduk
Tanyakan pada diri sendiri: Untuk siapa aku berqurban? Niat yang benar akan menjaga hati tetap tenang dan tidak silau oleh pujian manusia. Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika menyampaikan qurban di media sosial, sertakan konteks edukatif atau syiar, bukan pamer. Jangan sampai amal yang besar justru kehilangan nilainya karena niat yang tercemari.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa yang melakukan amal karena riya’, maka Allah akan memperlihatkan aibnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Apa yang kita qurbankan sejatinya bukan dari kekuatan kita, tapi rezeki dari Allah yang dititipkan melalui kita. Maka tak layak kita sombong atas apa yang bukan milik mutlak kita.
“Kalian sekali-kali tidak akan memperoleh kebajikan (yang sempurna), sebelum kalian menginfakkan sebagian harta yang kalian cintai.” (QS. Ali Imran: 92)
Orang beriman tidak pernah merasa cukup dengan amalnya. Mereka selalu takut amalnya tertolak, dan karena itu memohon agar diterima.
Ali bin Abi Thalib berkata: “Lebih aku khawatir amalku tidak diterima, daripada tidak beramal.”
Setiap orang diuji dengan rezeki yang berbeda. Berqurbanlah sesuai kemampuan, dan jangan merasa lebih baik dari yang lain.
Tunduklah Seperti Ibrahim, Ikhlaslah Seperti Ismail
Ibadah qurban mengandung banyak pelajaran hati: keikhlasan, ketaatan, dan ketundukan. Maka jadikan qurban kita bukan hanya tentang penyembelihan hewan, tetapi juga tentang penyembelihan hawa nafsu akan pujian dan kesombongan.
“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’am: 162)
Mari berqurban dengan rendah hati, dan semoga Allah menerima ibadah kita, menjadikannya pemberat timbangan kebaikan, bukan justru menjadi amal yang gugur karena hati yang tidak dijaga.
Wallahu a‘lam.