Zakat penghasilan atau biasa juga disebut sebagai zakat profesi, merupakan istilah zakat yang muncul belakangan dan tidak dikenal di zaman Rasulullah SAW hidup, atau masa generasi salaf.
Zakat ini merupakan hasil ijtihad ulama kontemporer menyikapi sumber nafkah kaum muslimin yang semakin beragam.
Kebanyakan ulama kontemporer berpendapat wajib dikeluarkannya zakat penghasilan berdasarkan dalil-dalil yang umum, seperti ayat berikut:
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS Adz Dzariyat : 19)
Jadi bagaimana sebenarnya pengertian dan cara menghitung zakat penghasilan? Jawabannya dapat ditemukan dalam ulasan ini.
Menurut kaidah bahasa Arab, zakat berarti suci dan bertumbuh. Jadi spirit dan niat zakat seharusnya adalah menyucikan harta (bagi muzaki) dan menumbuhkannya (bagi mustahik.)
Sedangkan secara istilah bermakna memberikan sebagian harta karena perintah Allah, sesuai kadarnya, untuk dibagikan kepada para mustahik berdasarkan aturan syariat Islam.
Para ulama mendefinisikan zakat menjadi dua, yaitu zakat mal dan zakat fitrah. Zakat fitrah adalah zakat atas jiwa, dan hanya dikeluarkan di bulan Ramadan. Zakat mal adalah zakat atas harta dan bisa dikeluarkan kapan saja ketika sudah tercapai nisab dan haulnya.
Zakat penghasilan adalah bagian dari zakat mal, yaitu zakat yang dikeluarkan atas dasar harta. Zakat ini merupakan zakat penghasilan gaji atau yang diambil dari penghasilan atas suatu pekerjaan atau keahlian tertentu.
Penghasilan tersebut meliputi berbagai penerimaan hasil kerja seperti upah, honor, gaji yang diterima secara rutin oleh karyawan swasta, pegawai negeri, atau tidak rutin seperti dokter dan sebagainya.
Selama pekerjaan yang menghasilkan tersebut adalah halal dan sudah mencapai nisab, maka zakatnya wajib dikeluarkan.
Karena zakat penghasilan merupakan hasil ijtihad ulama kontemporer, tidak semua ulama menyepakati keberadaannya.
Para ulama pendukung zakat penghasilan, diantaranya adalah Syekh Yusuf Al Qaradawy, Syekh Abdurrahman Hasan, Syekh Abdul Wahhab Khallaf, Syekh Muhammad Abu Zahra, Syekh Wahbah Az-Zuhaili.
Zakat penghasilan juga didukung oleh fatwa MUI nomor 3 tahun 2003, yang menegaskan kewajiban mengeluarkan zakat penghasilan atau profesi.
Para ulama yang tidak sepakat, ada yang menentang karena beranggapan tidak adanya dasar hukum yang jelas baik dari Alquran atau hadits Rasulullah SAW.
Padahal di zaman Rasulullah SAW masih hidup, hingga masa generasi salaf, sudah terdapat cukup banyak profesi dan spesialisasi yang menerima gaji atau upah.
Jadi bagaimana para ulama pendukung zakat penghasilan melandaskan ijtihad-nya?
Secara hakikat zakat itu diperintahkan untuk menyucikan harta si kaya dan menumbuhkan harta si miskin. Ini pula yang dipesankan Rasulullah SAW saat memerintahkan Muadz bin Jabal ke Yaman.
“Beritahukan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka untuk membayar zakat yang diambil dan dihimpun dari orang-orang kaya diantara mereka lalu diserahkan atau didistribusikan kepada orang-orang miskin mereka.” (HR Bukhari & Muslim)
Sementara hari ini bila membahas zakat pertanian (yang sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW), maka berapa banyak para petani yang kaya? Sedangkan mereka berkewajiban mengeluarkan zakat setiap kali panen, tanpa menunggu haul.
Memang di zaman Rasulullah dan generasi salaf, terdapat berbagai macam profesi yang mirip dengan hari ini. Tapi penghasilan mereka saat itu tidak membuat mereka menjadi orang kaya di zamannya.
Itulah kenapa Rasulullah SAW tidak mengambil zakat dari mereka, begitu pula generasi salaf setelahnya.
Bandingkan dengan zaman sekarang di mana level karyawan dan profesional tertentu memiliki penghasilan fantastis yang jauh melampaui para petani.
Karena itulah, walau tidak ada di masa Rasulullah SAW hidup, terdapat jejak sejarah penerapan zakat penghasilan di masa generasi salaf, bagi mereka yang mendapat upah kerja cukup besar.
Beberapa riwayat menceritakan hal itu, diantaranya yang dikisahkan Abu Ubaid:
“Adalah Umar bin Abdul Azis memberi upah kepada pekerjanya dan mengambil zakatnya, dan apabila mengembalikan al madholim (barang pinjaman tanpa izin) diambil zakatnya, dan beliau juga mengambil zakat dari a’thoyat (gaji rutin) yang diberikan kepada yang menerimanya.”
Atas dasar itulah sebagian ulama kemudian berpendapat tentang wajibnya zakat atas upah, gaji, penghasilan atau honor profesi seseorang.
Para ulama yang berpendapat bahwa zakat penghasilan atau zakat profesi wajib dikeluarkan, mengacu kepada dalil-dalil umum sebagaimana di bawah ini:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS At Taubah : 103)
“Berimanlah kamu kepada Allah dan RasulNya dan infakkanlah (di jalan Allah) sebagian dari harta yang Dia telah menjadikan kamu sebagai penguasanya (amanah). Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menginfakkan (hartanya di jalan Allah) memperoleh pahala yang besar.”
(QS Al Hadid : 7)
“Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu keluarkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya.” (Al Baqarah : 267)
“Bila suatu kaum enggan mengeluarkan zakat, Allah akan menguji mereka dengan kekeringan dan kelaparan.” (HR Thabrani)
“Bila zakat bercampur dengan harta lainnya, maka ia akan merusak harta itu.” (HR Baihaqi)
Penghasilan yang wajib dikeluarkan zakatnya harus merupakan penghasilan dari pekerjaan yang sesuai dengan aturan Islam. Apabila pekerjaan tersebut haram, maka pelakunya wajib berhenti dan mencari sumber penghasilan lain.
Syarat wajib bagi seseorang untuk menunaikan zakat penghasilan antara lain:
Sedangkan syarat sah penghasilan untuk dikeluarkan zakatnya adalah:
Terdapat beberapa pendapat mengenai nisab dan kadar untuk zakat penghasilan atau profesi, yaitu:
Berarti zakat penghasilan berapa persen kadarnya? Di Indonesia perhitungan yang umum digunakan adalah yang ketiga, yaitu nisabnya mengikuti nisab zakat pertanian dan kadarnya mengikuti kadar zakat perdagangan atau zakat emas, alasannya adalah:
Dalam pelaksanaannya, zakat penghasilan dapat dibayarkan bulanan, atau tahunan. Jika dibayarkan setahun sekali, haulnya harus mengikuti penanggalan qamariah (hijriah).
Jika pembayaran tahunannya mengikuti kalender masehi, maka perhitungan zakatnya harus dikalikan 365/354 (dalam satu tahun qamariah, terdapat 354 hari).
Lalu bagaimana jika setelah zakat penghasilan dikeluarkan, masih ada sisa harta untuk ditabung hingga melebihi nisab zakat emas (85 gram), apakah harus dikeluarkan lagi zakatnya?
Para ulama berpendapat, apabila masih ada sisa yang melebihi nisab 85 gram emas dan sudah mencapai haul, maka wajib dikeluarkan lagi zakatnya sebesar 2,5%.
Setelah mengetahui nisab dan kadarnya, lalu zakat penghasilan sebaiknya diberikan kepada siapa? Berikut ini adalah golongan penerima zakat penghasilan:
Seseorang digolongkan sebagai fakir ketika dia tidak memiliki penghasilan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Akibatnya dia tidak akan bisa membeli makan, minum, bepergian dengan kendaraan, berobat jika sakit, jika tanpa bantuan orang lain atau berhutang (yang juga tak mungkin dibayar).
Golongan ini sedikit lebih baik dibanding fakir, yaitu orang yang memiliki penghasilan atau pekerjaan, tapi tidak cukup untuk mencukupi kebutuhan pokok. Istilahnya seperti besar pasak daripada tiang, sehingga dia akan selalu kekurangan, atau harus memilih antara satu kebutuhan pokok dengan yang lain. Kalau bisa makan, berarti tidak bisa bepergian, kalau bisa berobat berarti tidak bisa makan, dan seterusnya.
Amil adalah para pengelola zakat yang mengabdikan diri untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. Umumnya para amil sudah memiliki izin resmi dari pemerintah, baik mewakili lembaga zakat negara (Badan Amil Zakat), maupun lembaga swasta (Lembaga Amil Zakat).
Golongan selanjutnya adalah kaum mualaf, yaitu orang-orang yang baru masuk Islam dan biasanya lemah secara ekonomi, baik karena ditolak oleh keluarganya yang masih belum berislam, atau karena sebab lain. Zakat diberikan kepada golongan ini untuk melembutkan hati mereka dan merasakan adanya ukhuwah Islamiyah dari saudara-saudara baru yang seiman.
Golongan ini merupakan hamba sahaya yang ingin merdeka dari pemiliknya namun tidak mampu untuk bayar uang pembebasannya sendiri.
Gharim adalah golongan orang yang berhutang dalam jumlah sangat besar dan tidak mampu melunasinya, baik berupa hutang untuk memenuhi kebutuhan pribadi, maupun hutang karena ingin membantu orang lain.
Fi sabilillah merupakan golongan yang memperjuangkan seluruh waktunya untuk berjihad di jalan Allah, atau bisa disebut juga sebagai pejuang agama Allah (mujahidin).
Sedangkan ibnu sabil adalah golongan orang-orang yang sedang melakukan safar cukup jauh dan kehabisan perbekalan. Perjalanan yang dilakukan haruslah berupa perjalanan yang dibolehkan syariat Islam. Dalam kondisi tersebut dia tidak bisa meminta tolong kepada saudara, teman atau keluarganya, dan tidak juga punya bekal atau dana untuk kembali pulang.
linkaja.id
Menurut Prof. DR Muhammad Amin Suma selaku Ketua Dewan Penasehat Syariah Dompet Dhuafa, zakat penghasilan boleh diberikan kepada saudara yang bukan menjadi tanggung jawab muzaki.
Istri, anak, orang tua merupakan tanggung jawab muzaki dan wajib dinafkahi dengan layak. Jadi kepada ketiganya tidak boleh diberikan zakat, tapi harus diberi nafkah.
Lalu bagaimana bila zakat diberikan kepada orang yang berhutang, apakah boleh zakat tersebut dikurangkan dari sisa hutangnya?
Contohnya ada seorang fakir atau miskin atau mustahik lain, yang memiliki hutang kepada seorang muzaki senilai Rp 1.000.000, sedangkan dia berhak atas zakat senilai Rp 500.000, lalu muzaki tersebut berkata kepadanya, “Hutangmu sudah kupotong dari zakat sebesar Rp 500.000, jadi sisanya Rp 500.000 lagi!”
Menurut pendapat Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al-Abbad Al-Badr, Rektor Universitas Islam Madinah periode tahun 1384 sampai 1399 H, hal seperti itu tidak diperbolehkan.
Untuk menghitung zakat penghasilan, sebelumnya harus diketahui berapa harga beras yang dikonsumsi sehari-hari. Jika harga berasnya adalah Rp 10.000 per kg, berarti nisabnya sebesar Rp 5.220.000 per bulan (Rp 10.000 x 522 kg beras).
Cara dan hasil hitung zakatnya akan ditampilkan dalam tabel zakat penghasilan di bawah ini:
No. | Penghasilan Bulanan | Penghasilan Tahunan | Kadar Zakat Penghasilan | Jumlah Zakat per Bulan | Jumlah Zakat per Tahun |
1 | Rp 5.300.000 | Rp 63.600.000 | 2,5% | Rp 132.500 | Rp 1.590.000 |
2 | Rp 5.500.000 | Rp 66.000.000 | 2,5% | Rp 137.500 | Rp 1.650.000 |
3 | Rp 5.800.000 | Rp 69.600.000 | 2,5% | Rp 145.000 | Rp 1.740.000 |
4 | Rp 6.000.000 | Rp 72.000.000 | 2,5% | Rp 150.000 | Rp 1.800.000 |
5 | Rp 6.300.000 | Rp 75.600.000 | 2,5% | Rp 157.500 | Rp 1.890.000 |
6 | Rp 6.500.000 | Rp 78.000.000 | 2,5% | Rp 162.500 | Rp 1.950.000 |
7 | Rp 6.800.000 | Rp 81.600.000 | 2,5% | Rp 170.000 | Rp 2.040.000 |
8 | Rp 7.000.000 | Rp 84.000.000 | 2,5% | Rp 175.000 | Rp 2.100.000 |
9 | Rp 7.300.000 | Rp 87.600.000 | 2,5% | Rp 182.500 | Rp 2.190.000 |
10 | Rp 7.500.000 | Rp 90.000.000 | 2,5% | Rp 187.500 | Rp 2.250.000 |
11 | Rp 7.800.000 | Rp 93.600.000 | 2,5% | Rp 195.000 | Rp 2.340.000 |
12 | Rp 8.000.000 | Rp 96.000.000 | 2,5% | Rp 200.000 | Rp 2.400.000 |
13 | Rp 8.300.000 | Rp 99.600.000 | 2,5% | Rp 207.500 | Rp 2.490.000 |
14 | Rp 8.500.000 | Rp 102.000.000 | 2,5% | Rp 212.500 | Rp2.550.000 |
15 | Rp 9.000.000 | Rp 108.000.000 | 2,5% | Rp 225.000 | Rp 2.700.000 |
Demikianlah pembahasan lengkap mengenai zakat penghasilan atau profesi, mulai dari pengertian, syarat, nisab dan kadar, serta mereka yang berhak menerimanya. Semoga bermanfaat.
Sumber:
– https://www.republika.co.id/
– https://portalsulut.pikiran-rakyat.com/
– https://kalam.sindonews.com/