Anak yatim dimaknai sebagai seorang anak yang sangat membutuhkan bantuan pihak lain, karena ketiadaan orang tua yang bertanggung jawab akan kehidupannya.
Kebutuhan anak yatim tidak hanya secara immateri, namun juga secara materi, sebagaimana hak dan kebutuhan mereka didapatkan ketika orang tua masih bersama mereka.
Secara umum, Al-Qur’an mengingatkan tentang berbuat baik dan melakukan berbagai program islah (perbaikan dan pemberdayaan) demi kebaikan anak yatim di masa yang akan datang.
وَیَسۡـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡیَتَـٰمَىٰۖ قُلۡ إِصۡلَاحࣱ لَّهُمۡ خَیۡرࣱۖ
“Dan mereka bertanya lagi kepadamu (wahai Muhammad), mengenai anak-anak yatim. Katakanlah: “Memperbaiki keadaan anak-anak yatim itu amatlah baik“,(QS. Al-Baqarah: 220)
Dari ayat yang bersifat umum ini, turun beberapa tuntunan secara spesifik, khususnya tentang berbuat baik dikaitkan dengan pengelolaan dan pemberian bantuan harta infak dan sedekah untuk anak yatim. Diantaranya keharaman memakan harta anak yatim, yang diilustrasikan ibarat memakan bara api ke dalam perutnya. Allah swt berfirman,
إِنَّ ٱلَّذِینَ یَأۡكُلُونَ أَمۡوَ ٰلَ ٱلۡیَتَـٰمَىٰ ظُلۡمًا إِنَّمَا یَأۡكُلُونَ فِی بُطُونِهِمۡ نَارࣰاۖ وَسَیَصۡلَوۡنَ سَعِیرࣰا
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim dengan sewenang-wenang, sesungguhnya mereka ibarat memakan bara api ke dalam perutnya. Dan kelak mereka akan menghuni neraka yang menyala-nyala”. [QS. An-Nisāʾ: 10]
Termasuk ke dalam ‘memakan harta anak yatim’ ialah mengambil harta mereka, menipu, menyalahgunakan harta mereka, memperkaya diri sendiri dengan harta yatim, dan atau menelantarkan keadaan mereka. Karena inti berbuat baik kepada yatim adalah menjadikan mereka lebih berdaya dan berkemampuan dalam kehidupan mereka kelak.
Di ayat yang memerintah beribadah kepada Allah swt, berbuat baik kepada yatim menjadi implementasi tertinggi setelah berbuat baik kepada orang tua dan kerabat (QS. An-Nisa’: 36). Bahkan harta yang didapat dari peperangan dalam bentuk ghanimah maupun fay’ diingatkan hak anak yatim pada harta tersebut (QS. Al-Anfal: 41 dan Al-Hasyr: 7). Hal ini mengisyaratkan bahwa harta yang didapat dari berbagai sumber yang halal meniscayakan hak yatim terpenuhi sebagai bentuk perhatian dan kepedulian terhadap mereka.
Rasulullah saw yang mengalami keadaan yatim piatu karena ditinggal wafat oleh ayahandanya ketika masih dalam kandungan, kemudian wafat ibundanya ketika usianya baru empat atau enam tahun, merupakan sosok teladan dalam memperhatikan masa depan yatim dalam bentuk tuntunan kepedulian dan bantuan ril kepada mereka dengan jaminan pahala berlipat dan berdampingan dengan nabi saw di dalam surga.
« أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِى الْجَنَّةِ هكَذَا: وأشار بالسبابة والوسطى وفرج بينهما شيئاً
“Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini”, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta agak merenggangkan keduanya”. (HR. Al-Bukhari)
Dalam konteks kontemporer sekarang ini, anak yatim tidak hanya dibatasi pada lokasi yang terdekat dengan kita, namun juga anak-anak yatim di belahan dunia lain yang lebih dan amat sangat membutuhkan huluran bantuan, seperti anak-anak Palestina yang mayoritas mereka menjadi yatim karena orang tua mereka menjadi korban kejahatan perang. Justru, kebutuhan mereka lebih besar dalam takaran skala prioritas bantuan kemanusiaan.
Terlebih di zaman sekarang ini kebutuhan anak yatim bisa jadi bertambah sesuai dengan perkembangan pendidikan, kesehatan, serta tuntutan lainnya di lapangan.
Oleh karena itu, momentum Muharram sebagai titik tolak pergantian dan perubahan waktu dalam kurun satu tahun, sangat tepat dijadikan momentum sedekah yatim Nusantara dan Dunia. Insya Allah berdayanya yatim berarti berdayanya munfiq, mushaddiq, serta seluruh pihak yang memberikan kontribusi besar dalam program santunan yatim di bulannya Allah swt (Syahrullah) yaitu bulan Muharram….