Pada kesempatan kali ini, kita akan membicarakan sebuah tradisi kepahlawanan dalam Islam, sebuah tradisi kemenangan yang turun-temurun dirawat para pendahulu kita.
Terlebih, saat nantinya datang bulang Syawal kita sering mengucapkan atau mendengar sebuah tagline “minal ‘âidîn wal fâizîn, mohon maaf lahir batin”. Sekilas kalimat kedua terkesan merupakan terjemahan dari kalimat yang pertama. Padahal, itu adalah sebuah istilah lain dan sangat berbeda. Terjemahan minal ‘âidîn wal fâizîn bukanlah mohon maaf lahir batin. Itu adalah sebuah doa yang mengharapkan diri ini menjadi bagian orang-orang yang “kembali” dan orang-orang “menang”. Kembali dan menang itulah yang menjadi tradisi doa dan harapan para pendahulu kita.
Bulan Ramadan adalah tempaan untuk mengembalikan fitrah seseorang. Seperti halnya air hujan, yang berasal dari bumi merupakan air dari berbagai sumber. Air asin, air keruh, air kotor, air bercampur limbah dan termasuk air yang jernih tentunya. Kemudian setelah diproses di langit, air itu diturunkan kembali oleh Allah ke bumi dalam keadaan suci dan menyucikan, bersih tanpa diketahui dari mana asalnya sebelum jatuh kembali ke bumi.
Kembali seperti inilah yang diharapkan dari madrasah Ramadan.
Dan jika dikaitkan dengan kemenangan. Maka kemenangan pertama adalah ketika seseorang diampuni dan dibersihkan dari segala dosa. Ini sekaligus menjadi tradisi kemenangan-kemenangan berikutnya. Sejarah menuturkan, di bulan Ramadan lah Allah karuniakan kemenangan pertama umat Islam setelah melalui proses ketakutan yang mencekam dalam pertempuran Badar, pada 17 Ramadan 2 H; persis 1435 tahun yang lalu. Nuansa kemenangan lain juga Allah hadirkan dalam Fathu Makkah pada 20 Ramadan 8 H. Kemenangan berkarakter dan bermartabat, kemenangan yang menunjukkan keluasan dan ketinggian akhlak, kemenangan yang tak disertai keangkuhan dan arogansi. Kememangan yang menghadirkan ketenangan dan kenyamanan, dan bukan sebaliknya menebar teror dan penindasan.
Akhlak yang tinggi ditunjukkan Rasulullah shallalLahu ‘alaihi wasallam saat memasuki Makkah. Tak ada balas dendam, tak ada keangkuhan, tak ada arogansi. Beliau bahkan menundukkan wajahnya di atas unta, sehingga digambarkan hampir-hampir merunduk seperti punggung unta. Bibir beliau terus menggumamkan istighfar dan tasbih kepada Allah.
Saat beliau berhadapan dengan para pembesar Quraisy yang ketakutan. Beliau hanya bertanya, “Menurut kalian, apa yang kira-kira akan saya lakukan pada kalian?” Keramahan beliau hadirkan kesejukan dan ketenangan. Mereka menjawab, “Engkau adalah orang mulia, saudara orang mulia, keponakan orang mulia”. Senyum beliau mengiringi sebuah ungkapan fenomenal, “Pergilah… Kalian bebas!” Mereka bebas tanpa hukuman. Bebas tak ada balas dendam.
Menakjubkan… dan itu semua terjadi di bulan Ramadhan.
*****
Jiwa-jiwa orang-orang yang beriman telah bertemu terlebih dahulu sebelum mereka bertemu. Maka ketika terjadi pertemuan jasad, pertemuan itu akan lebih terasa bermakna. Dan pertemuan kaum mukminin ini merupakan nikmat Allah yang sangat patut untuk kita syukuri. Karena jiwa mereka menyatu dalam iman. Jika terjadi sebaliknya maka kualitas iman yang tertanam di hati masih perlu ditingkatkan lagi.
Hati merupakan tempat bersemayamnya cinta, disamping tempat berkembangnya iman ataupun berpotensi untuk mengingkarinya ketika ia tertutup oleh hawa nafsu. Dan cinta juga merupakan karunia Allah yang mulia. Karunia Allah ini kadang disalahgunakan oleh sebagian kita untuk memperturutkan hawa nafsu. Nafsu inilah yang menjadi penghalang berkembangnya kreasi. Cinta merupakan stimulan kreasi dan berbagai karya besar. Terutama jika cinta kepada Allah memiliki muatan yang sangat kuat, terbina dalam manhaj Rasulullah shallalLahu ‘alaihi wasallam. Dan karena Allah saja lah yang mampu membolak-balikkan hati seorang manusia.
Kisah bayi kecil Musa ‘alaihissalam merupakan sampel realita quwwatul mahabbah (kekuatan sebuah cinta). Allah menyelamatkan Musa’alaihissalâm melalui cinta yang Allah turunkan di hati Fir`aun, musuh Allah dan juga kelak musuh Musa as. “…Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku…”(QS.Thaha: 39)
Sampaipun Fir`aun melihatnya ia mencintai Musa kecil. Dan setiap orang yang melihatnya akan merasa kasih sayang kepadanya.
Musa kecil diselamatkan Allah dengan kekuatan cinta. Musa kecil diasuh dan tumbuh dalam lingkungan musuh Allah dan musuhnya. “…supaya diambil oleh (Fir`aun) musuh-Ku dan musuhnya…”
Kisah di atas mengindikasikan kekuatan dan kekuasaan Allah yang tak terbatas. Allah sanggup menyelamatkan hamba-Nya melalui apapun bahkan tanpa apapun dan dengan cara yang bahkan tidak terduga dan tak terbayang sedikitpun oleh hamba-Nya. Justru Allah menyelamatkan seorang hamba-Nya melalui musuh-Nya. Maka tak ada alasan bagi seorang yang beriman kepada Allah untuk takut menghadapi resiko perjuangan dakwah.
Ibunda Nabi Musa ‘alaihissalâm, dengan ilham dari Allah begitu berani dan percaya menghanyutkan anak lelakinya ke sungai Nil, lenyap di bawa arus menuju istana musuh Allah dan musuhnya. Seorang ibu yang memiliki keyakinan yang kuat akan kemenangan cinta yang suci. Ia sangat memasrahkan proses kemenangan itu kepada putusan dan pilihan Dzat yang menganugerahkan kemenangan. Dan Allah-lah yang sesungguhnya mengasuh calon penghancur kezhaliman ini. “…dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku…”(QS.Thaha:39). Sang ibu begitu yakin akan janji Tuhannya. Dan karena air sungai yang mengalir juga atas titah Allah karena ia merupakan salah satu pasukan Allah di bumi ini.
Calon nabi ini tumbuh dalam lingkungan yang tak bersahabat, memusuhi Allah. Namun Musa kecil tetap tumbuh sebagai generasi dakwah yang tangguh.
Hubungan kekuatan cinta ini dengan hamba Allah merupakan keterkaitan sebab akibat. Sang hamba mencintai Tuhannya yang kuat, maka ia pun menjadi kuat tak takut terhadap siapa dan apapun. Sang hamba mencintai Tuhannya yang mulia, maka ia pun menjadi mulia tanpa harus merasa rendah diri atau menghinakan diri di depan apa dan siapapun. “Man khâfallâha khâfa `anhu ghairuh” (Barang siapa yang takut kepada Allah, maka yang selain Allah akan takut terhadapnya). Orang akan segan. Tatkala itu pula ia merasa hanya izzah Allah lah yang membuatnya mulia dan disegani oleh orang lain. Tak perlu lagi baginya untuk merasa kecil dan memandang remeh dirinya di hadapan sesama. Karena ia sama-sama berpeluang untuk menjadi mulia melalui bentuk kepasrahan cinta yang sempurna, yaitu menyembah, mengesakan dan menghambakan dirinya. Ketika itu Allah akan menganugerahkan kekuatan cinta. Tatkala ia mendengar, Allah menjadi pendengarannya. Ketika ia berkarya dan berkreasi, Allah menjadi tangannya. Bila ia bergerak dinamis, Allah menjadi kakinya, pijakan gerakannya sehingga ia menjadi kuat. Tak goyah oleh arus, betapa pun kuat arus itu. Arus hedonis kah atau matrealis, liberalis kah atau sosialis, permisif kah atau anarkis, ekstrim kah atau sebaliknya. Ia akan tegak, kokoh di hadapan apapun yang bermaksud menerjang atau merobohkannya.
Contoh kongkrit dari kemenangan cinta ini adalah kisah sahabat Khabbab bin Adi. Beliau begitu gigih menyongsong syahidnya di tiang salib. Betapapun menggiurkan tawaran pemimpin Quraisy saat itu beliau sanggup menggadaikan diri dan jiwanya demi selamatnya Rasulullah. Kedudukan, harta dan wanita cantik, ketiganya bukan tak pernah ditawarkan pada beliau. Namun hal-hal tersebut sangat tidak menarik dan sangat murah di hadapan murninya sebuah cinta. Cinta melindungi jalan dakwah.
“Wahai Khabab, bagaimana jika sekarang engkau pulang dan kami berikan kedudukan, harta dan kenyamanan. Dan sebagai penggantinya Muhammad berada di tiang salib ini?”
Dengan gemerataknya gigi beliau pun menyahut dengan tegas,”Demi Dzat yang jiwaku dalam genggaman-Nya. Aku sekali-kali tak pernah rela jika ada sebuah duri yang menusuknya”. Hanya sebuah duri saja. Lalu bagaimana kalian tawarkan Muhammad menggantikannya di tiang salib tersebut. Sebuah tawaran yang menjadi hina di depan kemuliaan sebuah nilai ketulusan cinta.
Beberapa saat sebelum beliau dieksekusi, beliau ditawarkan meminta sesuatu. Beliau hanya meminta waktu untuk bermunajat dengan Kekasihnya, hanya dua rakaat.Namun penuh kesan dan saat itulah kekuatan cinta mengkristal dalam diri beliau. Tiang salib menjadi begitu indah, bak lambaian bidadari di pintu syurga. Sejarah merekam perkataan beliau yang sangat mengesankan “Kalaulah tak khawatir disangka sebagai seorang pengecut yang takut mati tentulah akan kupanjangkan shalatku. Namun Allah mengetahui apa yang terjadi pada hamba-Nya”.
Kekuatan cinta ini sangat membuahkan hasil yang belum pernah terdetik di hadapan musuh. Dengan segala keputusasaannya Abu Sufyan –yang waktu itu belum Islam– mengatakan “Belum pernah aku melihat seseorang benar-benar mencintai lebih dari ketika sahabat Muhammad mencintainya dengan lebih daripada mereka mencintai diri mereka sendiri”. Kata-kata pengakuan akan kekuatan cinta ini keluar dari musuh-musuh Allah yang lain ketika mereka menyaksikan keteguhan dan kekuatan cinta. Mereka dibuat tak berdaya meski memegang cambuk besi atau paku salib sekalipun. Mereka menjadi lemah meski dengan segala kekuatan materi sekalipun. Mereka menjadi kehabisan akal meski sebelumnya penuh muslihat dan makar-makar licik. Mereka menjadi frustasi dengan fenomena-fenomena yang tak bisa ditangkap oleh akal mereka.
Senyum sahabat Khabbab ra ketika menyongsong kematian di tiang salib merupakan senyum kemenangan cinta. Sekaligus pengumuman atas kekalahan sebuah kecongkakan, terbenamnya rasa sombong dan luluhnya kekerasan hati yang bengis. Berganti sebuah takzim dan keseganan meski datangnya dari musuhnya sekalipun.
*****
Kisah sahabat Zaid bin Haritsah juga akan memberikan nuansa cinta dan kasih sayang yang dalam.
Zaid berasal dari kabilah Thayyi’, sebuah kabilah Arab yang terkenal dengan kebangsawanannya, pemuda-pemudanya terkenal tampan dan para pemudinya dikenal berparas cantik menawan. Serta memiliki karakteristik santun dan berperangai halus.
Suatu ketika terjadi pertempuran dan penyerbuan ke kabilah ini sehingga kabilah tersebut menjadi tercerai berai. Banyak diantara mereka yang terbunuh dan tertawan oleh musuh. Sebagian lagi mencari perlindungan ke tempat lain. Sahabat Zaid ketika itu masih kecil. Zaid kecil berpisah dengan keluarganya. Kemudian menjadi seorang budak belian. Suatu ketika Rasulullah saw –sebelum menerima wahyu- menjumpai Zaid kecil sedang dipromosikan untuk dijual di Pasar Ukkaz. Karena terkenal keelokan budi zaid Rasul pun tertarik untuk membelinya. Hanya saja beliau saat itu tiada memiliki harta yang cukup.
Sepulang dari Ukkaz, beliau menceritakannya kepada Ibunda Khadijah. Hanya saja Rasul menekankan, beliau tiada memiliki uang yang cukup untuk membelinya. Isyarat ini diterima oleh Khadijah sebagai isyarat perintah Rasul. Beliau segera menawarkan kepada pamannya Waraqah bin Naufal. Jadilah Zaid `budak` Waraqah. Akhlak dan perangainya yang baik, santun serta tutur kata yang sopan membuat setiap orang tertarik padanya.
Rasulullah suatu ketika mengungkapkan rasa takjub kepada istri beliau Khadijah. “Sesungguhnya aku menyukainya, bagaimana jika engkau berikan dia kepadaku?”.
“Aku khawatir, nanti engkau akan menjualnya?”, Khadijah menyela
“Aku akan mengangkatnya sebagai anak, jika engkau tak berkeberatan?” Rasulullah meyakinkan.
Kekhawatiran Khadijah akan kehilangan Zaid, hanya karena khawatir kehilangan kesantunan Zaid. Namun dengan akan diangkatnya ia sebagai anak angkat Rasul, beliau sangat mendukungnya.
Kita tak hendak membicarakan cerita Zaid yang namanya disebut di surat Al Ahzab. Sebagai anak angkat Rasulullah. Atau cerita yang berhubungan dengannya.
Sementara itu Ayahnya, Haritsah , seorang yang kaya raya mengupah seseorang untuk mencari putranya yang hilang. Hingga suatu saat ia menemukan Zaid berada di kebun rumah Rasulullah. Ia segera mencocokkan ciri-ciri Zaid yang diperolehnya dari Ayahnya. Ketika yakin ialah Zaid dari bani Thayyi’. Segera lelaki tersebut menghampiri Zaid.
“Bukankah engkau Zaid bin Haritsah?”, lelaki tersebut menyelidik.
“Bukan!”, Zaid mengelak “Aku adalah Zaid bin Muhammad” sambungnya kemudian.
Setelah berbicara kesana-kemari. Lelaki tersebut kembali menegaskan. “Bukankah engkau dari bani Thayyi’?”.
Kali ini Zaid tak bisa mengelak lagi. Laki-laki tersebut telah memiliki data lengkap tentang dirinya.
Lalu disampaikan olehnya kepada Zaid bahwa ayahnya sedang mengupahnya untuk mencari putranya yang telah lama hilang. Zaid Pun menyuruhnya kembali.
Pada suatu kesempatan; Ayahnya, Haritsah bersama keluarganya serta para pembesar kabilah mendatangi Zaid di kediaman Rasulullah.
Tak lama kemudian terjadilah dialog tawar-menawar antara Rasulullah dengan ayah Zaid, Haritsah dan keluarganya.
“Wahai Muhammad, kedatangan kami kemari hanya menginginkan kembali anak kami yang telah lama menghilang!”, Haritsah mewakili kabilahnya. Kemudian melanjutkan perkataannya,”Ambillah semua harta ini, atau yang engkau inginkan. Kami hanya meminta kembali anak kami!”.
Permohonan ini dijawab dengan ramah oleh Rasulullah,”Jika kalian menginginkan aku mengambil imbalan sebagai ganti dari Zaid. Ambillah saja harta kalian. Jika kalian berkehendak, masuk sajalah ke agamaku”.
Mereka pun terhenyak mendengar tawaran dari Rasulullah yang mengejutkan. Dan mereka mempertahankan kemuliaan kabilah dengan agama nenek moyang mereka. Seketika mereka membayangkan akan terjadi perdebatan yang menegangkan. Namun bayangan ini ditepis dengan bahasa santun Rasulullah
“Kalau memang demikian, kalian ambil saja kembali harta kalian. Dan bawalah Zaid kepada ayahnya”.
Akhirnya mereka hendak mengambil kembali Zaid. Namun betapa terkejut, ketika mereka mendengar perkataan Zaid,”Aku tak akan menemukan selain Muhammad sebagai penggantinya bagiku di sini”
Orang tua Zaid pun pulang ke kabilahnya dengan tangan hampa. Putranya lebih memilih mencintai orang lain dari padanya. Haritsah terus memikirkan keanehan tersebut. Hingga ia mengakui kuatnya pancaran cinta Rasulullah yang tertanam dalam hati putranya. Ia pun segera kembali ke rumah Rasulullah dan menyatakan keislamannya di saksikan putranya.
“Wahai putraku, Zaid. Aku memeluk Islam sebagai agamaku bukan karena hendak mengambilmu. Namun karena aku begitu memahami betapa engkau sangat mencintai pribadi Muhammad sebagai orang tuamu yang mendidikmu menjadi dewasa”
Kekuatan cinta ini memancarkan sinar hidayah. Zaid dan Rasulullah saw adalah simbol pertautan cinta. Sampai-sampai para tetangganya menyebut Zaid bin Muhammad yang akhirnya ditegur oleh Allah.
Belum pernah putra kabilah Thayyi` meninggalkan kabilahnya karena orang lain. Bahkan dari orang tuanya. Dan ini terjadi pada diri Zaid. Kasih sayang dan ketulusan cinta yang diberikan Rasulullah telah meninggalkan pengaruh pertautan yang sangat kuat. Zaid mencintai Rasul. Rasul Pun sangat mencintainya. Bahkan putranya, Usamah, panglima termuda kala itu sampai-sampai dijuluki dengan `Kekasih putra Kekasih`.
Kekuatan cinta bisa menembus keangkuhan, kezhaliman akan dirobohkannya. Kesombongan dan tirani akan diluluhlantakkan dan terlebur oleh ketulusan cinta. Bahkan kelembutan dan kesantunan akan semakin halus dengan kedalaman makna cinta.
Selain Khabab dan Zaid, masih ada kepahlawanan dahsyat yang juga ditunjukkan oleh para perempuan seperti Sumayyah Ummu Yasir, yang juga menemui ajalnya sebagai syahidah pertama karena mempertahankan akidah dan kecintaannya kepada Rasulullâh SAW. Demikian halnya kepahlawanan dan keberanian yang ditunjukkan oleh Nusaibah binti Ka’b yang menjadi tameng dan perisai hidup Rasulullah SAW pada Perang Uhud. Kepahlawanan yang disaksikan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
*****
Lihatlah perumpamaan sederhana antara harimau dan rusa. Rusa memiliki kecepatan lari bisa melebihi 90 km/jam, sementara harimau hanya bisa berlari dalam kisaran 50-60 km/jam. Secara teori kemampuan lari rusa takkan bisa dikejar harimau. Tapi faktanya tak sedikit rusa yang berhasil dimangsa oleh harimau. Jika diamati, ketika berlari rusa lebih sering menengok ke arah belakang. Semakin dekat harimau, rusa semakin gelisah dan itu menurunkan daya kecepatannya secara tidak langsung.
Demikian halnya saat ini, umat Islam lebih sering mendengar kehebatan dan kekuatan islamophobia yang makin membesar. Potensi dan daya besar yang dipunyai sering terlupakan untuk dirawat dan dibesarkan. Fokus menjadi berkurang, sehingga mudah dibodohi, mudah diteror, dijadikan korban, dimarginalkan serta di adu domba.
Semoga dengan madrasah Ramadan, kelak umat ini menjadi umat yang kembali pada tradisi kepahlawanan yang hebat. Kembali pada tradisi kemenangan yang bermartabat. Minal ‘Âidîn wal Fâizîn, kembalikan tradisi kepahlawanan dan kemenangan. (Dr. KH. Saiful Bahri, Lc., MA)