Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga setelah Syahadat dan Sholat, sehingga merupakan ajaran yang sangat penting bagi kaum muslimin. Bila saat ini kaum muslimin sudah sangat faham tentang kewajiban sholat dan manfaatnya dalam membentuk kesholehan pribadi. Namun tidak demikian pemahamaannya terhadap kewajiban terhadap zakat yang berfungsi untuk membentuk keshalehan sosial. Implikasi keshalehan sosial ini sangat luas, kalau saja kaum muslimin memahami tentang hal tersebut. Pemahaman sholat sudah merata dikalangan kaum muslimin, namun belum demikian terhadap zakat.
Dalam sejarah perjalanan masyarakat Islam, ajaran zakat sudah mulai dilupakan dan disempitkan artinya. Zakat seolah-olah hanya merupakan kewajiban individu dan dilaksanakan dalam rangka menggugurkan kewajiban individu terhadap perintah Allah ini. Sehingga zakat menjadi apa yang sering disebut sebagai ibadah mahdhah individu kaum muslimin. Dari suatu ajaran yang luas dan mendalam yang dikembangkan oleh Rasul dan Sahabat di Madinah, zakat belum seutuhnya difahami sebagai sistim perekonomian yang memberi kesejahteraan dan kebahagiaan dunia dan akhirat
Pemahaman yang utuh tentang konsepsi harta dapat menumbuhkan semangat berkontribusi melalui Ziswaf. Harta disebutkan oleh Al-Qur’an sebagai sesuatu yang baik ‘Khoir’ (QS. Shad: 32, Al-Adiyat: 8). Rasulullah saw juga menyebutkan bahwa harta yang baik manakala berada di tangan orang yang baik (نعم المال الصالح للمرء الصالح ( Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ini dipesankan oleh Nabi saw kepada sahabatnya Hasyim agar memahami konsepsi harta dengan benar.
Ibadah harta atau ibadah yang dikaitkan dengan harta merupakan ibadah yang memiliki beberapa keutamaan dibanding ibadah fisik. Ibadah harta dapat menjadi pengganti dari ibadah fisik manakala dalam keadaan udzur melaksanakannya, seperti seorang yang tidak mampu berpuasa karena udzur, maka ia membayar fidyah dalam bentuk memberi makan kepada fakir miskin. Ibadah harta merupakan penyempurna ibadah fisik seseorang.
Sarana shalat, umroh dan haji misalnya menjadi wajib keberadaannya karena menjadi syarat ibadah fisik tersebut. Ibadah harta juga dinilai terus menerus tanpa terputus pahalanya (jariyah), seperti dalam sabda nabi saw: “Apabila anak Adam meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akan”. (HR. Muslim)
Ketiga hal yang menjadi pahala jariyah pada intinya membutuhkan harta untuk merealisasikannya. Tidak mungkin menghadirkan anak yang shalih tanpa menyiapkan harta untuk pendidikan dan pembinaannya. Demikian juga ilmu dapat diraih dengan baik, manaka ditopang oleh ibadah harta, sehingga dapat sungguh-sungguh tafaqquh fid din.
Oleh karenanya, diantara motifasi ibadah harta dalam bentuk zakat, infak, shadaqah, dan wakaf, tidak hanya menggugurkan kewajiban (Bara’atu Dzimmah), namun mengarah kepada menyiapkan individu terbaik, keluarga terbaik, dan masyarakat terbaik, yang pernah dicontohkan oleh Nabi saw. Salah satu gambaran harta di masa generasi terbaik diisyaratkan di ayat berikut ini:
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung”. (Al-Hasyr: 9)
Justru ibadah harta tetap dianjurkan dalam kondisi krisis dan kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat. Disaat krisis, masyarakat masih mampu memberikan sebagian hartanya melalui zakat, infaq dan shodaqohnya untuk meringankan penderitaan saudaranya yang lain, baik yang di daerah krisis, bencana, konflik, dan daerah yang lain. Inilah diantara hikmah ibadah zakat, infak dan sedekah jika dijalankan dengan sebaik-baiknya.