Platform pembayaran zakat secara digital telah mampu meningkatkan jumlah pembayaran zakat muzakki secara daring. Salah satunya yaitu platform crowdfunding yang sudah banyak digunakan oleh Lembaga Amil Zakat di Indonesia. Hal ini dilakukan sebagai upaya guna memaksimalkan potensi dana zakat yang harus dihimpun oleh Lembaga Amil Zakat.
Namun pada realitanya banyak dari kalangan muzaki yang masih ragu akan kesesuaian syariah dan regulasinya, dengan alasan bahwa saat pembayaran zakat shighatnya tidak disampaikan langsung oleh Amil kepada Muzakki atau tidak sama sekali. Serta banyak di antara media penyelenggara platform Crowdfunding dan OPZ dalam pembagian hak Amil mengambil haknya secara double, yang jika ditotal hak Amil yang diambil melebihi 12,5%.
خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ – ١٠٣
Artinya: “Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah [9]: 103)
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa [4]: 29).
فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ.
Artinya: “Beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah (zakat) dari harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang faqir mereka.” (HR. al-Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 19)
لا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ- وذكر منها – عَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ
Artinya: “Tidaklah kedua kaki seorang hamba beranjak pada hari kiamat kelak sampai ia ditanya tentang empat hal: -disebutkan di antaranya adalah- hartanya dari mana ia peroleh dan kemana ia belanjakan?” (HR. Tirmidzi)
Kata Ijab Kabul berasal dari bahasa Arab, yang terdiri dari kata Ijab, yang berarti ‘menjawab’, dan kata Qabul, yang berarti ‘menerima, mengambil’. Dalam fikih muamalah, Ijab berarti pernyataan melakukan ikatan, dan Kabul berarti pernyataan penerimaan ikatan. Adapun secara istilah Ijab ialah perkataan yang diucapkan oleh penjual, atau yang mewakilinya dalam mengutarakan kehendak hatinya yang berkaitan dengan akad yang dijalin. Sedangkan Qabul ialah perkataan yang diucapkan oleh pembeli atau yang mewakilinya sebagai ekspresi dari kehendaknya berkaitan dengan akad tersebut.
Transaksi jual-beli dapat berlangsung dengan segala ucapan yang menunjukkan kepadanya, singkatnya tidak ada ucapan tertentu yang harus diucapkan dalam transaksi jual-beli, sehingga ucapan apa saja yang menunjukkan akan jual-beli, maka terjalinlah dengannya transaksi jual-beli. Banyak para ulama yang menegaskan tentang hal ini, beberapa ulama di antaranya; Imam An-Nawawi menjelaskan sebagai berikut:
Artinya: “Pendapat inilah yang secara dalil lebih kuat, dan itulah yang saya pilih, karena dalam syari’at tidak ada dalil yang mensyaratkan ucapan tertentu, sehingga kita harus mengikuti tradisi yang berlaku, sebagaimana hal-hal lainnya.” (Raudhatut Thalibin, oleh Imam An-Nawawi 3/337)
Kaidah Fikih yang berkaitan dengan issue ini adalah kaidah ‘Urf, seperti praktik jual beli yang mana penerapan ijab dan qabul itu sendiri harus diterapkan berdasarkan mazhab Syafi’iyah, akan tetapi pada prakteknya di kehidupan saat ini sudah tidak ada penerapan Ijab Qabul. Misalkan saat kita berbelanja ke minimarket, kita mengambil barang-barang di etalase yang sudah ada harganya kemudian kita ke kasir untuk melakukan pembayaran dan secara spontan kita menyetujui berapa yang harus dibayar, dan kasus seperti ini sudah menjadi kebiasaan di masyarakat.
Jika kita lihat rihlahnya maka tidak ditemui unsur Ijab dan Qabul sebagaimana pengertiannya yang telah dijelaskan oleh para ulama terdahulu. Adapun ketika kita mengambil barang di etalase yang sudah tertera harganya kemudian kita mengetahui dan menyetujuinya lalu membayarkan ke kasir sesuai harga yang tertera maka bisa jadi unsur Ijab dan qobulnya sudah terpenuhi. Akan tetapi ‘ala kulli hal Ijab dan Qabul itu sudah tidak dipraktikan sebagaimana zaman dahulu karena itu berkaitan dengan ‘Urf di masyarakat dan insyaallah hal yang demikian diperbolehkan.
Perlu diketahui bahwa platform Crowdfunding tersebut hanya sebagai media penyambung antara Amil dan Muzakki atau biasa disebut ‘person to person Landing’ (P2P Landing). Dalam konteks Crowdfunding selama ada unsur yang menyatakan bahwa adanya ijab dan qobul, kemudian muzakki membuka platform tersebut dan dia sudah mempunyai perhitungan sendiri terkait berapa yang harus dibayarkan, lalu melakukan P2 (pembayaran) ke rekening yang tercatat di laporan Amil tertuju maka bisa dikatakan Ijab dan Qobul nya telah terpenuhi.
ketika OPZ bekerjasama dengan penyelenggara platform Crowdfunding, harus ditetapkan terlebih dahulu kesepakatan operasinya atau diadakan MOU. Misalkan Yakesma bekerja sama dengan Kitabisa.com dan mendapatkan uang sebesar 1M, maka itu akan ada fee yang diberikan kepada kitabisa.com selaku penyelenggara. Yang perlu diperhatikan disini yaitu uang fee yang akan diberikan itu darimana? jika Yakesma itu secara syar’I mendapatkan fee 12,5% dari dana penghimpunan apakah kitabisa.com selaku penyelenggara itu mendapatkan fee dari 12,5% itu atau tidak? Apabila kitabisa.com itu menjadi ekosistem keAmilan atau termasuk sebagai Amil Yakesma kemudian kitabisa.com itu mengambil 5% maka Yakesma hanya boleh mengambil sisa dari hak amil yaitu 7,5%.
Adapun masalah yang perlu diperhatikan yaitu apakah uang penghimpunan 1M tadi masuk dahulu ke rekening yakesma kemudian diberikan fee sebesar 5% kepada kitabisa.com atau fee tersebut otomatis terpotong oleh kitabisa.com? hal seperti ini harus diperhatikan agar tidak terjadi double pengambilan hak amil. Jadi misalkan dari Kitabisa.com selaku Media Crowdfunding otomatis memotong fee bagiannya 5%, kemudian Ketika dana himpunan diserahkan ke OPZ mereka mengira sisa dana himpunan tersebut adalah utuh tanpa potongan fee dari Media Crowdfunding dan OPZ memotong hak amilnya 12,5% secara utuh. Kejadian seperti masih banyak terjadi di Indonesia.
Namun berbeda apabila OPZ memiliki platform Crowdfunding sendiri yang mana platform tersebut masih dikelola oleh OPZ tersebut, maka hal tersebut tidak akan menjadi masalah. Dan jika OPZ ingin bermitra dengan Lembaga crowdfunding maka harus memilih Lembaga yang kredibel secara Aman syar’I, aman Regulasi dan Aman NKRI. Hal ini dilakukan agar terjaganya sirkulasi harta antara Muzakki, Media Crowdfunding dan OPZ.
Dalam Praktik Zakat Online melalui platform Crowdfunding, ada beberapa hal yang harus diperhatikan supaya unsur-unsur yang dilaksanakan tidak keluar dari rambu-rambu Hukum Syari’ah, di antaranya yaitu sebagai berikut:
Billahit Taufiq wal Hidayah.
(Ditulis oleh: Dewan Pengawas Syariah Yakesma)