Zakat adalah landasan sistem perekonomian Islam dan menjadi tulang punggungnya. Karena sistem perekonomian Islam berdasarkan pengakuan bahwa Allah adalah pemilik sejati, sedang manusia adalah pengemban amanah kepemilikan dari Allah swt.
Maka hanya Dia yang berhak mengatur masalah kepemilikan, hak-hak dan penyaluran serta pendistribusian harta. Zakat adalah pencerminan dari semua itu. Karena ia merupakan salah satu hak terpenting yang dijadikan Allah di dalam kepemilikan.
Disamping itu, dalam harta yang kita miliki, masih ada hak-hak lain diluar zakat. Dalam sebuah hadits dikatakan : “Sesungguhnya di dalam harta itu ada hak selain zakat”. Tetapi zakat merupakan hak terpenting di dalam harta. Karena itu ia menjadi penyerahan total kepada Allah dalam persoalan harta. Sabda Nabi Muhammad SAW: “Zakat adalah bukti (penyerahan)”.
Dalam masalah modal, Islam memiliki prinsip-prinsip tertentu, antara lain: Penumpukan dan pembekuan harta adalah tindakan tidak benar dalam masalah harta. Harta harus dikembangkan dan zakat merupakan pengejawantahan dalam masalah ini.
Sebab, modal yang tidak dikembangkan, pemilik tetap berkewajiban membayar zakat. Berarti dia harus mengurangi bagian modal itu setiap tahunnya. Akhirnya akan mengakibatkan semakin menipisnya modal.
Misalnya, seseorang memiliki uang seratus juta rupiah yang tidak dikembangkan. Dia akan membayar zakat uang tersebut setiap tahunnya sebanyak 2.5%. Dalam beberapa tahun harta yang seratus juta rupiah tersebut, kecuali nishab, pasti akan habis seluruhnya.
Karena itu, pemilik modal terpaksa harus mengembangkan hartanya bila ingin menjaga modal agar tidak habis. Sehingga zakatnya dibayar dari keuntungan, bukan dari itu sendiri.
Dengan demikian, sistem zakat menjadikan modal selalu dalam perputaran. Dengan ini pula kita dapat memahami firman Allah: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih (Qs. At Taubah: 34)”.
Selama infaq di jalan Allah ditunaikan, atau sekurang-kurangnya dengan membayar zakat, maka penimbunan harta benda itu tidak akan pernah terjadi. Rasulullah SAW bersabda: “Selama kamu tunaikan zakatnya, maka ia bukan timbunan”.
Jadi, tidak mungkin terjadi bersama-sama antara penimbunan dengan zakat. Modal, sebagai modal yang tidak dikembangkan, tidak memiliki keuntungan. Tetapi, di dalamnya ada hak orang lain, yaitu penerimaan zakat. Modal, berhak mendapatkan keuntungan setelah dikembangkan sebagai imbalan atas kesediaannya menanggung kerugian. Misalnya, dalam satu syarikat mudharabah (usaha bagi hasil) pemilik modal berhak mendapat keuntungan sebagai imbalan kesediaan modal tersebut menanggung kerugian, bila terjadi kerugian. Ini menunjukan perbedaan pokok dalam memandang persoalan harta sebagai modal antara Kapitalisme dan Komunisme di satu pihak dengan sistem Islam di pihak lain.
Islam telah meletakan masalah ini secara proporsional dan adil melalui semua institusi yang ada terutama melalui instansi zakat (lembaga pengelola zakat). Harta menurut Islam, kalau dikembangkan ada hak mendapatkan keuntungan sebagai imbalan atas kesediaan menanggung resiko rugi. Pemilik modal berhak memperoleh keuntungan sebagai imbalan pengelolaan dan kesediaannya menanggung resiko kerugian.
Kepada pemilik modal diwajibkan membayar zakat setiap tahun, bukan saja dari keuntungan, tetapi juga dari modal itu sendiri. Dengan demikian, ‘kelebihan nilai' yang digambarkan Karl Marx tidak akan kembali kepada pemilik modal, kecuali dalam jumlah kecil yang menjadi haknya. Selebihnya akan kembali kepada berbagai tingkatan masyarakat yang berhak menerimanya sebagai upaya mewujudkan Jaminan Sosial yang merupakan kewajiban bagi orang yang mampu (aghniya).
Berangkat dari motivasi kecil ini, Yakesma ingin turut berpartisipasi membangun kesadaran masyarakat muslim Indonesia bisa berperan menunjukkan prestasi yang luar biasa, guna membangun Indonesia yang jaya, Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Amiin.
(Sumber: Panduan Zakat Yakesma)